Disusun oleh: Dharmawan, SE, SH, MH, BKP, CCL
Sekjen Perkumpulan Profesi Pengacara Praktisi Pajak Indonesia (P5I) dan Pembina Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
1. Dasar Hukum SP2DK dan Kekuatan Hukum Surat Edaran DJP
a. Dasar Hukum SP2DK
Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan atau yang lebih dikenal sebagai SP2DK adalah instrumen krusial yang digunakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menguji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak. Saat ini, dasar hukum penerbitan SP2DK secara spesifik diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak. Sebelumnya, instrumen ini juga diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2015.
b. Kekuatan Hukum Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Penting untuk dipahami bahwa Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak tidak memiliki kekuatan hukum setingkat Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. SE pada dasarnya adalah petunjuk pelaksanaan atau pedoman teknis yang bersifat internal, yang ditujukan bagi pegawai DJP untuk memastikan keseragaman dalam menjalankan peraturan perpajakan yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan Peraturan Pemerintah.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Surat Edaran tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, secara hukum formal, SE tidak dapat digunakan untuk membatasi hak atau menambah kewajiban Wajib Pajak di luar apa yang sudah diatur dalam peraturan yang lebih tinggi. Meskipun demikian, dalam praktiknya, SP2DK adalah bagian dari proses pengawasan yang sah, dan Wajib Pajak tetap wajib menanggapinya. Pengabaian terhadap SP2DK dapat memicu tindakan hukum lebih lanjut, seperti pemeriksaan pajak.
2. Dampak Penyelesaian SP2DK dan Risiko Pemeriksaan Pajak Kembali
a. Proses dan Konsekuensi Penyelesaian SP2DK
Ketika menerima SP2DK, Wajib Pajak memiliki beberapa opsi respons, yaitu:
- Melakukan Pembetulan SPT: Jika Wajib Pajak mengakui adanya kekurangan pajak, mereka dapat melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) dan segera melunasi kekurangan tersebut. Tindakan ini sering dianggap sebagai penyelesaian atas SP2DK.
- Memberikan Penjelasan Tertulis: Wajib Pajak dapat menyanggah atau memberikan penjelasan lengkap atas data yang dimiliki DJP, disertai bukti-bukti yang valid. Jika penjelasan ini dapat diterima, proses SP2DK akan dianggap selesai.
b. Risiko Pemeriksaan Pajak Kembali
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah setelah “closing” SP2DK dan Wajib Pajak membayar kekurangan pajak, mereka masih bisa diperiksa kembali. Jawabannya adalah ya, sangat mungkin.
Berikut adalah poin-poin penting yang mendasarinya:
- Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU KUP yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
- Penting untuk digarisbawahi bahwa proses SP2DK bukanlah pemeriksaan pajak formal, melainkan bagian dari kegiatan pengawasan yang disebut penelitian kepatuhan material. * Dengan demikian, meskipun Wajib Pajak sudah membetulkan SPT dan melunasi kekurangan pajak setelah menerima SP2DK, DJP masih memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak jika ditemukan indikasi ketidakpatuhan lain yang lebih mendalam, atau sebagai bagian dari program pengujian kepatuhan secara menyeluruh.
c. Kapan DJP Tidak Dapat Melakukan Pemeriksaan?
Ada dua kondisi utama di mana DJP tidak dapat lagi melakukan pemeriksaan:
- Sudah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Perlu dicatat bahwa proses SP2DK yang berakhir dengan pembetulan SPT oleh Wajib Pajak tidak menghasilkan SKP dari DJP. SKP hanya diterbitkan setelah pemeriksaan formal selesai.
- Jangka waktu penetapan pajak telah kedaluwarsa. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU KUP, DJP dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam kurun waktu 5 tahun sejak saat terutangnya pajak. Selama jangka waktu ini belum terlampaui, kewenangan DJP untuk melakukan pemeriksaan tetap ada.
Kesimpulan
SP2DK diterbitkan berdasarkan Surat Edaran yang tidak memiliki kekuatan hukum setingkat Undang-Undang. Namun, surat ini adalah instrumen pengawasan yang sah dan harus ditanggapi. Wajib Pajak perlu memahami bahwa penyelesaian SP2DK dengan pembayaran kekurangan pajak tidak serta merta menghentikan risiko pemeriksaan pajak di kemudian hari. Kewenangan DJP untuk melakukan pemeriksaan tetap berlaku selama 5 tahun sejak terutangnya pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus senantiasa memastikan kepatuhan perpajakannya secara menyeluruh, bahkan setelah merespons SP2DK.