beritax.id — BPJS Ketenagakerjaan kembali menghadapi tantangan serius dalam mencapai target kepesertaan nasional. Lembaga itu menargetkan 70 juta peserta pada 2026, namun hingga kini jumlahnya baru mencapai 42 juta. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Pramudya Iriawan Buntoro, mengakui lembaganya tengah menghadapi tekanan besar akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di awal tahun 2025 serta rasionalisasi di sektor konstruksi.
“Awal tahun kami banyak disibukkan dengan adanya PHK. Selain itu, ada rasionalisasi di perusahaan jasa konstruksi. Jadi masih 42 juta,” ujarnya dalam konferensi pers di Tangerang, Kamis (23/10/2025).
Pramudya menegaskan BPJS akan mengevaluasi kembali target kepesertaan tahun depan dengan mempertimbangkan kapasitas internal dan kondisi ekonomi nasional. “Kami perlu melihat kembali apakah angka 70 juta itu realistis atau perlu disesuaikan,” ujarnya.
Partai X: Rakyat Kehilangan Pekerjaan, Bukan Keanggotaan
Menanggapi hal itu, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menilai revisi target kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan adalah bentuk pengalihan isu dari kegagalan struktural pemerintah dalam menjaga stabilitas lapangan kerja.
“PHK bukan sekadar data statistik. Itu cerita tentang perut yang lapar, rumah tangga yang kehilangan pendapatan, dan masa depan yang suram,” tegas Prayogi. Ia mengingatkan bahwa tugas negara itu tiga melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat.
Menurutnya, ketika negara gagal menciptakan lapangan kerja dan hanya fokus mempercantik angka keanggotaan BPJS, maka negara telah abai pada hak dasar warganya. “Yang diperbaiki bukan target, tapi nasib rakyat yang kehilangan pekerjaan,” ujarnya dengan nada keras.
Kritik Terhadap Pengelolaan Dana dan Orientasi BPJS
Partai X juga menyoroti fakta bahwa BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana hingga Rp 860 triliun, sementara angka PHK terus meningkat dan kesejahteraan pekerja stagnan. “Dana triliunan rupiah itu seharusnya berputar untuk melindungi pekerja, bukan sekadar dicatat sebagai aset lembaga,” kata Prayogi.
Menurut Partai X, kebijakan BPJS yang lebih berorientasi pada stabilitas angka keuangan ketimbang kesejahteraan peserta memperlihatkan penyimpangan dari semangat perlindungan sosial. “BPJS harusnya jadi tameng sosial, bukan sekadar portofolio investasi,” tegasnya.
Prinsip Partai X: Negara Wajib Hadir di Tengah Rakyat yang Terhimpit
Partai X menegaskan bahwa kesejahteraan pekerja bukan sekadar indikator ekonomi, melainkan tolok ukur keberpihakan negara. Dalam pandangan Partai X, sistem jaminan sosial seperti BPJS tidak boleh dijalankan dengan logika korporasi, melainkan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial.
“Negara ini tidak boleh memperlakukan pekerja sebagai angka. Setiap peserta BPJS adalah warga negara yang berhak atas perlindungan penuh,” kata Prayogi. Ia menegaskan bahwa prinsip Partai X menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan, bukan sebagai objek statistik.
Solusi Partai X: Reformasi Sistem Perlindungan Pekerja Nasional
Sebagai solusi, Partai X mendorong reformasi menyeluruh terhadap sistem perlindungan tenaga kerja. Pertama, memperluas perlindungan sosial bagi pekerja informal agar tidak hanya bergantung pada perusahaan. Kedua, mengintegrasikan data PHK nasional agar dapat digunakan untuk intervensi cepat melalui pelatihan ulang dan subsidi pekerjaan. Ketiga, menuntut transparansi pengelolaan dana BPJS agar manfaatnya langsung dirasakan pekerja.
“Setiap rupiah dana BPJS harus kembali ke rakyat dalam bentuk manfaat nyata, bukan laporan keuangan tahunan,” tegas Prayogi. Ia menekankan bahwa keberhasilan negara tidak diukur dari target lembaga, tetapi dari seberapa sedikit rakyat yang kehilangan harapan.
Penutup: Jangan Ubah Angka, Ubah Nasib Rakyat
Partai X menegaskan bahwa kegagalan mencapai target kepesertaan BPJS bukan sekadar masalah administratif, tetapi tanda bahwa ekonomi rakyat sedang sakit. “Rakyat kehilangan pekerjaan, tapi pemerintah hanya sibuk merevisi target. Ini potret kebijakan yang kehilangan empati,” ujar Prayogi menutup pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa negara sejati hadir bukan saat menghitung angka, tapi saat memperjuangkan nasib rakyat yang terpinggirkan. “BPJS boleh revisi target, tapi negara tidak boleh revisi tanggung jawab,” pungkasnya tegas.



