beritax.id – Dalam perdebatan publik belakangan ini, demokrasi semakin sering diperlakukan sebagai persoalan biaya. Pemilu disebut mahal, pilkada dinilai melelahkan, dan partisipasi rakyat dianggap tidak efisien. Di sisi lain, ongkos kekuasaan mulai dari fasilitas pejabat, konsolidasi, hingga kebijakan yang memperpanjang pengaruh pejabat justru diperlakukan sebagai kewajaran.
Narasi ini menciptakan pembalikan logika berbahaya: hak rakyat dipersoalkan, sementara kekuasaan dianggap kebutuhan mutlak.
Efisiensi sebagai Alasan Mengurangi Kedaulatan
Wacana penyederhanaan demokrasi kerap dibungkus dengan istilah efisiensi dan stabilitas. Pemilihan langsung dianggap sumber konflik, suara publik dinilai memperlambat keputusan, dan kritik diposisikan sebagai gangguan. Dalam praktiknya, solusi yang ditawarkan bukan memperbaiki kualitas demokrasi, melainkan mengurangi peran rakyat di dalamnya.
Demokrasi yang dipangkas atas nama efisiensi berisiko kehilangan substansinya.
Biaya Demokrasi vs Biaya Ketidakadilan
Ironisnya, yang jarang dihitung adalah biaya ketika demokrasi dilemahkan. Ketika rakyat kehilangan ruang kontrol, kebijakan mudah melenceng, ketimpangan melebar, dan konflik sosial mengendap. Biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan yang muncul justru jauh lebih besar daripada biaya pemilu itu sendiri.
Demokrasi memang membutuhkan biaya, tetapi ketidakadilan jauh lebih mahal dampaknya.
Normalisasi Kekuasaan Tanpa Koreksi
Ketika demokrasi terus dipersoalkan sebagai beban, publik perlahan dibiasakan menerima kekuasaan yang minim koreksi. Pergantian kepemimpinan dipersempit, partisipasi dikurangi, dan rakyat hanya dihadirkan sebagai legitimasi awal. Dalam situasi ini, kekuasaan tidak lagi dilihat sebagai amanah sementara, melainkan sebagai posisi yang wajar untuk dipertahankan.
Inilah titik ketika demokrasi melemah bukan karena krisis, tetapi karena pembiaran.
Solusi: Memperbaiki Demokrasi, Bukan Mengerdilkannya
Untuk keluar dari jebakan ini, negara harus berhenti mempersoalkan demokrasi sebagai beban dan mulai memperbaikinya sebagai sistem. Ongkos kekuasaan perlu ditekan melalui transparansi pendanaan, penegakan hukum, dan penghapusan praktik transaksional bukan dengan mengurangi hak pilih rakyat. Mekanisme partisipasi dan pengawasan publik harus diperluas agar kekuasaan tetap terkendali. Pendidikan politik perlu diperkuat agar masyarakat memahami bahwa demokrasi bukan sekadar memilih, melainkan mengawal mandat. Yang terpenting, kekuasaan harus kembali dipahami sebagai amanah sementara, bukan kenyamanan permanen.
Demokrasi memang tidak murah, tetapi ia adalah harga yang layak dibayar untuk keadilan dan kebebasan. Kekuasaan yang dianggap terlalu wajar justru menjadi tanda bahwa demokrasi sedang diuji.



