beritax.id – Banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan Sumatra khususnya kawasan Tapanuli Raya kembali menyingkap pola lama yang tak pernah diputus saat bencana datang, pejabat buru-buru menyalahkan cuaca ekstrem, seolah semua ini adalah kehendak alam yang tak bisa dihindari. Padahal laporan riset menunjukkan bahwa kerusakan ini bukan hanya karena hujan. Ini adalah puncak dari krisis ekologis akibat hilangnya hutan, pembukaan lahan besar-besaran, dan konsesi industri yang menggerus bukit serta hulu DAS hutan Bukit Barisan selama bertahun-tahun.
Di wilayah Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Sibolga, banjir bandang membawa kayu gelondongan dalam jumlah besar bukti visual yang tak mungkin terbantahkan bahwa hulu sedang rusak parah. Hujan hanya “pemicu”, bukan penyebab.
Hutan Hilang, Investasi Masuk, Bencana Tak Terhindarkan
Laporan menunjukkan hilangnya lebih dari 1,4 juta hektare hutan dalam satu dekade di Sumatera, khususnya untuk tambang, PLTA, geothermal, dan kebun sawit. Ekosistem Batang Toru yang menjadi penyangga hidrologis Tapanuli menjadi salah satu yang paling tergerus akibat izin perusahaan besar.
Ketika hujan ekstrem datang, lereng yang sudah dipotong untuk jalan tambang, bendungan PLTA, dan eksplorasi industri kehilangan daya ikat. Tanah jenuh, longsor terjadi, sungai tersumbat material, dan saat bendungan alami jebol, air bah menghantam desa-desa sebagai debris flow mematikan.
Namun sebagian pejabat tetap menolak mengaitkan kerusakan hutan dan banjir besar. Hujan disalahkan, pola pikir ekologis diabaikan, korporasi tetap aman.
Sunyi di Media, Padahal Korban Melonjak
Yang membuat publik makin geram: minimnya liputan televisi nasional. Padahal laporan mencatat lebih dari 600 jiwa meninggal, ratusan hilang, dan hampir 600 ribu pengungsi tersebar di Aceh, Sumut, dan Sumbar.
Ketika bencana serupa terjadi di Jawa, pemerintah bergerak cepat dan media hadir 24 jam. Namun tragedi Sumatera dianggap “biasa”, cukup ditangani daerah. Akibatnya, kebutuhan bantuan mendesak tidak terpenuhi. Di beberapa wilayah, warga terpaksa menjarah makanan karena tidak ada bantuan selama berhari-hari simbol paling telanjang dari gagalnya negara hadir.
Prayogi R. Saputra: Negara Tidak Boleh Menyalahkan Alam Atas Kegagalannya
Menanggapi situasi ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, memberikan kritik tegas:
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi dalam bencana Sumatera, ketiganya tidak terlihat. Negara sibuk mencari alasan, bukan mencari solusi. Rakyat dibiarkan menanggung akibat dari kebijakan yang merusak hutan.”
Prayogi menekankan bahwa menyalahkan hujan adalah bentuk pengalihan tanggung jawab. Bencana ini adalah hasil dari pilihan kebijakan, bukan fenomena alam murni.
“Jika hutan habis karena izin negara, maka bencana adalah tanggung jawab negara. Tidak boleh ada pejabat yang cuci tangan.”
Solusi Partai X: Menghentikan Siklus Bencana Ekologis
Sebagai respon, Partai X merumuskan solusi konkrit yang berpihak kepada rakyat dan berbasis pemulihan ekosistem:
- Moratorium total izin baru di hulu DAS dan zona rawan. Seluruh izin tambang, PLTA, geothermal, dan perkebunan besar di kawasan rawan longsor harus ditinjau ulang dan dibekukan bila terbukti merusak.
- Audit independen atas semua perusahaan yang disebut dalam laporan
Tim independen—bukan internal pemerintah—harus memeriksa tujuh perusahaan yang diduga memicu kerusakan lingkungan. - Penetapan otomatis Bencana Nasional untuk korban massal
Jika korban lebih dari 100 jiwa lintas kabupaten, status nasional harus langsung diberlakukan tanpa menunggu keputusan penguasa. - Distribusi bantuan real-time dan terbuka
Seluruh alokasi bantuan harus transparan melalui dashboard publik untuk mencegah korupsi dan penahanan logistik. - Restorasi hutan Bukit Barisan sebagai penyangga ekologis utama
Penanaman kembali harus menggunakan pola restorasi ekologis, bukan sekadar penanaman ulang untuk formalitas. - Sanksi tegas untuk pejabat yang menyalahgunakan izin atau menutupi data
Partai X mendorong penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Penutup: Rakyat Tidak Boleh Terus Dikorbankan
Bencana Sumatera membuktikan satu hal: selama negara membiarkan hutan habis dan menutupi kesalahan dengan menyalahkan hujan, rakyat akan selalu menjadi korban.
Partai X menegaskan bahwa negara harus kembali kepada mandat dasarnya:
melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur dengan benar—bukan membiarkan bencana terjadi berulang kali.



