Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Cak Nun pernah berkata bahwa penjajahan terjadi dalam tiga tahap.
Tahap pertama adalah penjajahan militer dan teritorial—ketika bangsa dijajah secara fisik, dijarah sumber daya dan wilayahnya.
Tahap kedua adalah penjajahan nilai, budaya, dan ekonomi pasar bebas—ketika bangsa dijajah oleh gaya hidup, sistem ekonomi, dan selera yang bukan miliknya.
Dan kini, kita telah tiba pada tahap ketiga: penjajahan regulasi—ketika hukum dan aturan yang seharusnya melindungi rakyat justru dijadikan alat untuk menguasai mereka.
Contoh mutakhir dari gejala ini adalah lahirnya Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional (BGN). Di atas kertas, pembentukan BGN terlihat mulia: untuk memperkuat kebijakan gizi nasional dan menekan angka stunting. Namun di balik niat baik itu, tersimpan cacat serius dalam tatanan hukum.
Perpres 83/2024 hanya mencantumkan satu dasar hukum dalam bagian Mengingat, yakni Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Tidak ada Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang dijadikan rujukan delegasi kewenangan. Artinya, Perpres ini melompat dari UUD langsung ke Perpres, melewati hierarki hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Padahal, dalam sistem negara hukum, setiap peraturan di bawah UU wajib bersumber dari peraturan yang lebih tinggi. Tanpa cantolan itu, Perpres menjadi cacat formil dan materiil—tidak sah, tetapi tetap memaksa. Lebih parah lagi, Perpres semacam ini tidak bisa diuji baik di Mahkamah Agung maupun di Mahkamah Konstitusi, karena berdiri di wilayah abu-abu yang tidak diatur dalam mekanisme pengujian peraturan.
Di sinilah bahaya “penjajahan regulasi” bekerja.
Presiden atau pejabat publik dapat mengubah struktur hukum dan arah kebijakan publik hanya dengan selembar Perpres, tanpa persetujuan DPR dan tanpa kontrol yudisial. Dalam konteks ini, “maling” tidak lagi mencuri dengan tangan, tapi dengan pena hukum—mengambil hak rakyat, menguasai sumber daya, dan mengatur kebijakan lewat perubahan regulasi yang keliru tapi tampak sah.
Ironisnya, soal gizi nasional sudah diatur dalam UU 18/2012 tentang Pangan dan UU 17/2023 tentang Kesehatan. Pembentukan BGN melalui Perpres bukan hanya menabrak hierarki hukum, tapi juga tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain. Hukum diubah bukan untuk memperkuat sistem, tapi untuk memperluas kekuasaan.
Cak Nun benar: penjajahan militer bisa diakhiri dengan kemerdekaan, penjajahan ekonomi bisa dilawan dengan kesadaran, tapi penjajahan regulasi jauh lebih halus dan mematikan. Karena kali ini, penjajahnya bukan bangsa lain, tapi bangsa sendiri—yang menguasai hukum untuk menundukkan rakyatnya.
Jika rakyat diam, Perpres seperti BGN akan jadi preseden. Hari ini kita dijajah atas nama gizi, besok bisa atas nama energi, informasi, atau bahkan moralitas.
Sudah saatnya rakyat, akademisi, dan wakil rakyat membuka mata. Di mana, penjajahan tahap ketiga ini sedang berlangsung. Dan, hanya bisa dihentikan jika hukum kembali menjadi alat rakyat, bukan alat kekuasaan.
Negara hukum sejati tidak boleh membiarkan kekuasaan melompat di atas hukum. Sebab begitu hukum dikendalikan oleh penguasa, maka kekuasaanlah yang jadi hukum—dan di situlah penjajahan menemukan bentuk paling sempurnanya.



