Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Pernyataan mengejutkan dilontarkan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, dalam forum resmi bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Di hadapan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Lucky Alfirman, Bupati Adil menyebut kantor Kemenkeu berisi “iblis dan setan”. Bukan tanpa sebab, luapan kemarahan itu dipicu oleh kekesalannya terhadap kebijakan Dana Bagi Hasil (DBH) yang dinilai tidak transparan dan merugikan daerahnya, padahal Meranti merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di Indonesia.
Pernyataan ini kontan memicu polemik nasional. Namun di balik kontroversi retorika keras itu, publik justru mulai bertanya: benarkah ada kebenaran substantif di balik ucapan Bupati Meranti?
Meranti Kaya Minyak, Tapi Diperlakukan Seperti Pengemis?
Meranti hari ini memproduksi sekitar 7.500 barel minyak mentah per hari, naik signifikan dari sebelumnya 3.000–4.000 barel. Tapi ironisnya, menurut Bupati Adil, daerahnya hanya mendapatkan alokasi dana pusat yang minim dan tak transparan. “Kalau hasil minyak kami diambil negara, lalu kami hanya diberi secuil dengan alasan teknis yang tak kami pahami, untuk apa kami bernegara?” kata Adil dalam pertemuan itu, dengan nada tinggi.
Kemarahan ini mencerminkan kekecewaan daerah-daerah penghasil sumber daya yang merasa seperti dieksploitasi, namun tak diberdayakan. Apalagi ketika proses pengalokasian dana dilakukan secara teknokratis dari pusat, tanpa ruang bagi daerah untuk berunding secara adil.
Otoritarianisme Perpajakan: Dari Meranti hingga Seluruh Wajib Pajak
Persoalan Meranti bukanlah kasus tunggal. Data dari Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menunjukkan bahwa lebih dari 6.000 aturan perpajakan harus dipahami dan ditaati oleh wajib pajak. Tumpang tindih peraturan, prosedur yang rumit, dan lemahnya perlindungan hukum terhadap wajib pajak telah menciptakan suasana fiskal yang menyesakkan.
IWPI juga mencatat bahwa Kementerian Keuangan menolak mengakui secara eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal ini tampak dari jawaban PPID Kemenkeu yang tidak merujuk UUD 1945 saat diminta klarifikasi oleh publik. Lebih jauh, terjadi pembiaran sistemik terhadap pelanggaran UU Administrasi Pemerintahan, mulai dari oknum pegawai pajak, hakim pengadilan pajak, hingga lembaga pengawas seperti Inspektorat Jenderal Kemenkeu, Komisi Pengawas Perpajakan, dan bahkan Ombudsman RI.
Apa yang dibayangkan publik sebagai sistem hukum fiskal yang adil, ternyata dibungkus dalam kekuasaan birokratis yang tertutup dan kebal koreksi.
Cak Nun: Iblis Itu Yang Berbohong dan Menolak Kebenaran
Di tengah polemik ini, publik kembali mengingat tulisan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang mengupas makna mendalam tentang “iblis”. Dalam narasinya, Cak Nun menyebut iblis bukan hanya makhluk gaib, tetapi simbol dari keputusasaan, kebohongan, dan kesombongan terhadap perintah kebenaran.
Cak Nun menulis bahwa Iblis berasal dari kata ablasa yang berarti kesedihan dan keputusasaan yang amat sangat. Iblis pernah menjadi bendaharawan surga (Kanzul Jannah), tetapi jatuh karena menolak bersujud kepada Adam. Kesombongannya menjadikannya makhluk terkutuk. Dalam konteks hari ini, menurut Cak Nun, iblis adalah simbol dari perilaku pemimpin yang penuh sumpah palsu, kesombongan struktural, dan kebohongan sistemik.
Cak Nun menulis:
“Kita hidup di suatu negara dengan berkali-kali mengalami Pemerintahan Iblis, yakni dengan kelaziman sumpah palsu para pejabatnya… Tradisi Iblis telah jadi kebiasaan.”
Maka ketika seorang pejabat daerah menyebut Kemenkeu sebagai “rumah iblis”, itu bisa jadi bukan sekadar ledakan emosi, tapi potret realitas yang selama ini ditutupi bahasa teknokratik dan wajah santun birokrasi.
Makna Kata “Iblis” di Tengah Ketimpangan Fiskal
Pernyataan Bupati Meranti dan tulisan Cak Nun sesungguhnya menyatu dalam satu kritik besar: sistem fiskal Indonesia telah kehilangan adab, kejujuran, dan kemanusiaan. Daerah produsen diperlakukan seperti pengemis, wajib pajak ditindas oleh kompleksitas peraturan, dan pengawas justru tunduk pada kekuasaan fiskal pusat.
Kritik terhadap Kemenkeu dan terutama kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani, tidak lagi sekadar politis, tapi moral. Sebab, ketika kekuasaan fiskal dipakai bukan untuk kesejahteraan rakyat, tapi untuk mempertahankan struktur yang menindas, maka tudingan “iblis” bukan lagi hiperbola, melainkan refleksi rakyat atas realitas ketidakadilan yang mereka hadapi.
Penutup: Siapa Sebenarnya yang Iblis?
Pertanyaan besar akhirnya muncul: Apakah Iblis itu orang yang berkata jujur secara kasar, atau yang menyusun sistem jahat dengan wajah sopan? Apakah rakyat yang marah harus terus dibungkam dengan dalih ketertiban, sementara elit teknokratik terus menari di atas penderitaan fiskal rakyat?
Mungkin bangsa ini butuh lebih banyak orang seperti Bupati Adil, yang berani marah di hadapan kekuasaan. Dan juga butuh suara-suara seperti Cak Nun, yang terus mengingatkan bahwa “iblis” tak selalu bertanduk. Kadang, iblis bisa berwujud institusi. Bisa hadir dalam tubuh kekuasaan yang mengaku melayani, tapi sejatinya memperalat rakyat demi sistem yang tak pernah adil.