Oleh: Fery Fadly
Anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia
beritax.id – Pemerintah terus membanggakan pertumbuhan ekonomi 5%. Namun, realitas di lapangan justru penuh keluhan harga beras melonjak, listrik mencekik, dan daya beli rakyat kian rapuh. Pertumbuhan untuk siapa? Pertanyaan itu menjadi kian relevan ketika yang dirasakan rakyat hanyalah ilusi pembangunan.
Fatamorgana Pertumbuhan Ekonomi kita ibarat rumah kaca indah di luar, rapuh di dalam. Pertumbuhan bertumpu pada konsumsi rakyat yang justru makin melemah. Industri stagnan, investasi asing menahan diri, dan proyek mercusuar lebih banyak melayani elit daripada rakyat.
Apa gunanya jalan tol baru bila petani tetap merugi? Apa artinya bandara megah bila tiket hanya mampu dibeli segelintir orang?”
Pajak Instrumen yang Kehilangan Nurani
Sebagai praktisi pajak, saya melihat langsung paradoks fiskal kita. UMKM dan pekerja ditarik pajak ketat, sementara konglomerasi digital lintas negara bebas meraup keuntungan tanpa kontribusi berarti.
Warung kecil dikejar-kejar, tapi perusahaan multinasional lolos begitu saja. Legitimasi pajak perlahan runtuh karena rakyat merasa keadilan hanya tinggal slogan.
Geopolitik Pion di Meja Catur Dunia
Indonesia punya posisi strategi poros maritim dunia, pasar raksasa Asia Tenggara, jalur vital perdagangan global. Namun kenyataannya, kita masih saja jadi penonton.
Tiongkok terguncang, ekonomi kita ikut goyah. Amerika menekan, kita buru-buru mencari aman. Kita seolah puas menjadi pion, bukan pemain.
Krisis Sesungguhnya Kepemimpinan yang Takut
Mari jujur. Krisis terbesar bangsa ini bukan inflasi, bukan defisit, bukan gejolak global. Krisis terbesar kita adalah kepemimpinan yang takut.
Takut melawan mafia pangan, dan tambang.
Takut menutup celah pajak konglomerasi global.
Takut menghadapi tekanan asing.
Dan lebih parah takut berkata jujur pada rakyatnya sendiri. Apalagi kita mudah sekali dibenturkan oleh oligarki dan kaum kapitalis. Mandiri dalam pangan dan energi, atau selamanya jadi pengemis impor. Reformasi pajak dengan adil, atau legitimasi negara runtuh.
Bersuara lantang di panggung global, atau selamanya jadi satelit ekonomi bangsa lain. Ekonomi kita sedang sakit. Penyakit ini tidak bisa disembuhkan dengan retorika manis, melainkan dengan keberanian politik. Pegang Kendalinya Sebagai Pemimpin Negara Yang Berdaulat.
Sejarah akan mencatat bila elit terus memilih diam, negeri ini tumbang bukan oleh badai global, melainkan oleh ketakutan penguasanya sendiri.