beritax.id – Masyarakat hukum kembali diguncang oleh sorotan tajam terhadap proses seleksi Calon Hakim Agung (CHA) Kamar Tata Usaha Negara Khusus Pajak. Dua nama calon, Dr. Agus Suharsono dan Dr. Diana Malemita Ginting, menjadi perhatian serius setelah masing-masing dilaporkan ke Komisi Yudisial oleh pihak eksternal atas dugaan pelanggaran integritas dan ketidaksesuaian dengan syarat formil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Agung.
Dalam laporan pertama, Dr. Agus Suharsono diduga mengajukan diri sebagai CHA melalui jalur non-karier dengan mengklaim pengalaman lebih dari 20 tahun di lingkungan perpajakan. Namun, berdasarkan data LHKPN, diketahui bahwa yang bersangkutan baru menjabat sebagai Hakim Pengadilan Pajak pada tahun 2023. Dengan demikian, pengabdiannya di lembaga yudisial belum memenuhi syarat minimal 20 tahun sebagai hakim. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 huruf a angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dugaan penyelundupan hukum melalui jalur pencalonan ini dianggap sebagai pelanggaran integritas dan perbuatan tercela yang berpotensi mencoreng kredibilitas lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Pemeriksaan Pajak
Sementara itu, dalam laporan kedua, Dr. Diana Malemita Ginting dikritik keras karena memberikan pendapat yang membolehkan pelanggaran batas waktu pemeriksaan pajak. Sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025. Dalam wawancara yang terekam dan beredar di kanal YouTube, CHA tersebut menyatakan bahwa pelanggaran jangka waktu pemeriksaan pajak tidak serta-merta membatalkan hasil ketetapan. Bahkan seolah-olah membenarkan pelanggaran ketentuan formil yang menjadi hak wajib pajak atas kepastian hukum. Pendapat ini dinilai bertentangan dengan asas legalitas dan dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Lebih lanjut, yang bersangkutan juga tidak memiliki rekam jejak sebagai hakim beracara di pengadilan. Khususnya di lingkungan Pengadilan Pajak, yang menimbulkan pertanyaan serius terkait kelayakannya untuk menduduki posisi di Mahkamah Agung.
Kedua kasus tersebut mencerminkan adanya kekosongan sistemik dalam verifikasi integritas dan kualifikasi substantif terhadap calon hakim agung. Masyarakat mendesak Komisi Yudisial agar tidak hanya melihat kelengkapan administratif semata. Tetapi benar-benar melakukan evaluasi integritas, rekam jejak, dan kompetensi substantif para calon. Agar Mahkamah Agung tidak diisi oleh individu yang belum terbukti kelayakannya secara hukum dan etik.
Langkah Konkret Memperbaiki Sistem
Komisi Yudisial perlu mengambil langkah konkret dalam memperbaiki sistem seleksi CHA Khusus Pajak ke depan. Verifikasi lintas instansi harus diperkuat agar setiap data riwayat jabatan dan pengalaman dapat divalidasi secara resmi. Keterlibatan publik juga perlu diinstitusionalisasikan melalui forum dengar pendapat terbuka atau publikasi transparan setiap tahapan seleksi. Selain itu, KY perlu menyusun mekanisme sanksi yang tegas terhadap calon yang terbukti memberikan keterangan palsu atau menyalahgunakan ketentuan hukum. Dan yang paling penting, reformulasi kriteria jalur karier dan non-karier harus segera dibahas bersama Mahkamah Agung guna menutup potensi celah manipulasi hukum administratif.
Keadilan bukan hanya terwujud di ruang persidangan, tetapi bermula dari integritas orang-orang yang dipercaya menjatuhkan putusan. Jika proses seleksi itu sendiri cacat, maka bukan tidak mungkin produk keadilan yang dilahirkan pun turut cacat dan merugikan masyarakat. Komisi Yudisial diharapkan mampu menjalankan tugas konstitusionalnya untuk menjaga marwah peradilan. Serta memastikan bahwa setiap Calon Hakim Agung yang diloloskan benar-benar layak secara hukum, etika, dan pengalaman yudisial.
Oleh: Fhilipo