Di negeri yang katanya kaya raya, jutaan rakyat masih bergelut dengan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakpastian hidup. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, sementara gaji tetap stagnan. Lapangan pekerjaan semakin langka, pelayanan publik semakin menyedihkan. Dan yang paling menyakitkan: saat rakyat menjerit, mereka yang berkuasa justru tertawa di balik meja kekuasaan.
Apakah ini bentuk negara yang masih hidup? Atau sebenarnya, negara ini sudah mati dan kini hanya menjadi alat pelindung oligarki yang memperkaya diri?
Korupsi: Pembunuh Senyap yang Membantai Rakyat
Korupsi di Indonesia sudah bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi kejahatan kemanusiaan. Uang rakyat dirampas, bukan hanya memperlambat pembangunan, tapi juga merenggut nyawa secara tak langsung.
Contoh paling nyata adalah kasus Grup Duta Palma yang merugikan negara lebih dari Rp104 triliun (KPK, 2023). Angka itu setara dengan anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2024, yang hanya sekitar Rp94,2 triliun (Kemenkeu, 2024). Bayangkan, jika dana sebesar itu tidak dikorupsi, kita bisa membangun ribuan rumah sakit, menambah jutaan dosis obat, atau bahkan menggratiskan layanan kesehatan untuk masyarakat miskin.
Namun kenyataannya, fasilitas kesehatan masih minim. Menurut data BPJS Kesehatan (2023), hanya sekitar 59% fasilitas kesehatan di daerah terpencil yang memiliki tenaga medis lengkap. Akibatnya, banyak warga di pelosok harus menempuh belasan kilometer hanya untuk mendapatkan pengobatan dasar.
Kemiskinan dan Kelaparan Rakyat Indonesia: Warisan Sistem yang Gagal
Indonesia adalah negeri dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, seperti minyak, gas, batu bara, nikel, emas, dan sawit. Tapi ironisnya, menurut BPS pada Maret 2024 menunjukkan bahwa 24,2 juta orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Lebih memprihatinkan, Global Hunger Index (GHI) 2023 menempatkan Indonesia pada urutan ke-2 terburuk di ASEAN dalam hal kelaparan, hanya lebih baik dari Timor Leste. Situasi ini diperparah dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,32%, yang sebagian besar didominasi oleh usia produktif (BPS, 2024).
Sementara itu, kesenjangan ekonomi kian tajam. Menurut laporan Oxfam, 50 orang terkaya di Indonesia menguasai kekayaan setara dengan 50 juta orang termiskin. Artinya, sistem ekonomi kita gagal menciptakan keadilan, malah semakin memperlebar jurang antara si kaya dan miskin.
Ketimpangan Hukum: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Ketika hukum tidak lagi berpihak pada kebenaran, maka keadilan akan menjadi barang mewah. Ini bukan sekadar pepatah. Di Indonesia, hukum berlaku tajam ke rakyat kecil, tapi tumpul saat berhadapan dengan pejabat atau konglomerat.
Contoh paling mencolok adalah perbandingan hukuman terhadap pencuri sendal jepit yang divonis bersalah, sementara banyak koruptor milyaran bisa tersenyum di depan kamera, bahkan mendapat remisi di hari kemerdekaan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) berulang kali mencatat ketimpangan dalam proses hukum. LBH Jakarta (2023) menyatakan bahwa lebih dari 70% terdakwa miskin tidak didampingi pengacara memadai, sementara para tersangka dari kalangan oligarki maupun pejabat justru mendapat perlindungan penuh.
Negara Ada untuk Siapa?
Janji-janji kampanye tentang kesejahteraan rakyat, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial sering kali hanya menjadi retorika kosong. Ketika rakyat benar-benar membutuhkan negara seperti dalam bencana, kelaparan, atau krisis kesehatan, justru sering kali negara datang terlambat, atau bahkan tidak datang sama sekali.
Contoh krusial adalah saat pandemi COVID-19. Banyak warga kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, namun pejabat malah sibuk menyalahgunakan bantuan sosial. Kasus korupsi bansos yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara merugikan negara hingga Rp17 miliar, dan ini hanyalah puncak dari gunung es. [Sumber: Tempo, 2021]
Waktunya Bergerak: Dari Marah ke Aksi Nyata
Kemarahan rakyat adalah sesuatu yang sah. Tapi kemarahan yang hanya tinggal di ruang media sosial, tanpa diubah menjadi gerakan nyata, hanya akan berakhir sebagai statistik frustrasi.
Kita butuh lebih dari sekadar mengeluh. Kita butuh membangun gerakan kesadaran, mulai dari diskusi kecil, tulisan opini, hingga aksi kolektif. Sejarah telah menunjukkan bahwa perubahan besar lahir dari kesadaran rakyat kecil yang memilih untuk tidak diam.
Harapan Itu Masih Ada, Jika Rakyat Indonesia Bergerak
Negara seharusnya adalah sistem yang dibangun untuk melindungi rakyat, bukan untuk melayani elite. Ketika batas antara negara dan pemerintahan mengabur, yang tersisa adalah kekuasaan tanpa kontrol.
Seperti yang pernah disampaikan oleh Partai X, pemerintah adalah TKI 1 alias Tenaga Kerja Indonesia nomor 1, bukan penguasa, tapi pelayan rakyat. Namun hari ini, mereka lebih sibuk melayani kekuasaan dan kepentingan diri sendiri, ketimbang mengurus nasib rakyat yang mereka wakili.
Rakyat yang sadar adalah ancaman bagi sistem yang korup. Karena kesadaran akan hak, partisipasi dalam demokrasi, dan keberanian untuk bersuara adalah senjata terkuat untuk mengembalikan fungsi negara ke jalur yang benar.
Solusi Penyembuhan Bangsa
Jika sistem saat ini gagal, maka perlu dibangun ulang. Menurut Partai X, berikut 9 langkah konkrit untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran:
- Amandemen Kelima UUD 1945 dengan acuan UUD 1945 yang asli agar kedaulatan dimiliki dan dikuasai oleh rakyat
- Reformasi Hukum melalui Sistem Kepakaran (Expert System)
- Reformasi Birokrasi melalui Transformasi Digital dengan Intelligent Operations Platform (IOP)
- Bubarkan Partai Politik yang tidak melakukan pendidikan politik
- Lakukan Pemaknaan Nilai-nilai Pancasila
- Melaksanakan Musyawarah Kenegarawan Nasional
- Membentuk Dewan Kedaulatan Rakyat Adhoc untuk mengawal Amandemen Kelima UUD 1945
- Melakukan Perubahan Sistem Negara dengan membedakan lembaga negara dan lembaga pemerintah
- Memasukkan Pendidikan Politik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
Jangan Biarkan Negara Ini Mati
Negara yang membiarkan rakyatnya kelaparan, menderita, dan ditindas adalah negara yang mati secara moral. Tapi kita belum terlambat untuk membangkitkannya kembali. Asal kita tidak diam. Karena jika rakyat diam, maka ketidakadilan akan menjadi norma.
Mari ubah kemarahan menjadi kesadaran, dan kesadaran menjadi kekuatan. Untuk Indonesia yang benar-benar adil, sejahtera, dan berpihak pada rakyat bukan hanya pada penguasa.