“Namanya juga negara, ya harus nurut pemerintah.”
Kalimat ini sering terdengar, tapi keliru besar. Negara bukan milik pemerintah. Negara adalah milik rakyat. Pemerintah hanyalah pengelola, yang mendapat mandat sementara dari rakyat untuk menjalankan kekuasaan dengan amanah.
Ibarat perusahaan, rakyat adalah pemilik saham, dan pemerintah adalah CEO yang ditunjuk untuk bekerja demi kepentingan para pemilik. Jika sang CEO menyalahgunakan wewenang atau gagal menjalankan tugas, maka sewajarnya ia diganti. Bukan dibela mati-matian.
Namun, dalam praktiknya, realitas justru berkebalikan. Ketika pemerintah salah kelola, rakyat dilarang bertanya. Ketika rakyat bersuara, dianggap pembangkang. Dan di tengah itu semua, pajak tetap harus dibayar. Tanpa banyak tanya, tanpa banyak hak.
Benarkah Kedaulatan Rakyat Dihapus?
Perubahan arah sistem pemerintahan semakin kentara sejak Amandemen Ketiga UUD 1945, yang membuat MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Konsep kedaulatan rakyat pun mengalami pergeseran. Kini, rakyat seolah hanya berfungsi sebagai “pemilih lima tahunan”, yang setelah pemilu, diminta pasrah dan diam.
Rakyat kehilangan kontrol terhadap arah kebijakan negara. Partisipasi rakyat bukan hanya minim, tapi juga sering dimatikan. Kritik dibungkam, media dikendalikan, dan transparansi dijadikan jargon, bukan praktik.
Pajak Adalah Kontrak Sosial, Bukan Sekadar Kewajiban
Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya The Social Contract (1762) menyebutkan bahwa pajak adalah bagian dari kontrak sosial antara rakyat dan negara. Rakyat bersedia memberikan sebagian penghasilannya, dan negara berkewajiban mengembalikannya dalam bentuk layanan publik dan perlindungan sosial.
Namun realitasnya jauh berbeda. Di Indonesia, tingkat kepatuhan pajak perorangan masih rendah hanya sekitar 7,6 juta dari 92 juta wajib pajak yang lapor Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pada 2024 (Data: DJP, 2024). Salah satu alasannya adalah krisis kepercayaan.
Rakyat bertanya:
“Kami bayar pajak, tapi kenapa jalan rusak, kesehatan mahal, pendidikan tidak merata, dan korupsi tak kunjung berhenti?”
Ketika pajak hanya jadi alat pemerasan, tanpa imbal balik layanan yang adil, kontrak sosial itu runtuh. Pajak kehilangan legitimasi moralnya.
Korupsi dan Salah Arah: Uang Rakyat Untuk Siapa?
Masalah terbesar bukan hanya salah urus, tapi salah arah. Anggaran negara justru diarahkan untuk proyek-proyek ambisius yang minim urgensi. Contoh yang mencolok adalah proyek Ibu Kota Negara (IKN).
- Anggaran IKN diperkirakan mencapai Rp466 triliun, di tengah kondisi utang Indonesia yang sudah menyentuh Rp8.275 triliun per Mei 2025 (Kemenkeu).
- Sementara itu, angka kemiskinan ekstrem masih di angka 4,5 juta jiwa dan stunting masih 21,5% pada awal 2025 (BPS, 2025).
Ironisnya, saat proyek mewah terus dikebut, bansos untuk rakyat justru jadi ladang korupsi. Kasus korupsi bansos COVID-19 oleh eks Mensos Juliari Batubara adalah simbol dari matinya empati dalam sistem birokrasi.
Rakyat terus bayar, tapi manfaatnya dinikmati segelintir oknum.
Apatisme Muncul Karena Kedaulatan Rakyat Hilang
Apatisme pada pemerintahan bukan karena rakyat bodoh atau malas. Tapi karena sistem menutup ruang partisipasi. Kritik dianggap pengganggu stabilitas. Akses informasi dibatasi. Keputusan besar diambil tanpa melibatkan publik.
Menurut survei Lembaga Indikator Politik Indonesia (2024), 60,3% responden menyatakan tidak percaya bahwa suara mereka bisa mengubah kebijakan. Ini angka yang mengkhawatirkan karena menunjukkan rakyat merasa tak lagi punya kontrol atas arah negara.
Sementara itu, mereka tetap diminta patuh, tetap diminta membayar, tetap diminta diam.
Di Negara Sehat, Pajak Adalah Investasi
Di negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, atau Denmark, pajak bisa mencapai lebih dari 40% dari penghasilan warga. Tapi rakyat rela bayar. Kenapa? Karena manfaatnya nyata.
- Pendidikan gratis hingga universitas.
- Layanan kesehatan universal.
- Jaminan sosial kuat.
- Pemerintahan yang transparan dan minim korupsi (Denmark dan Norwegia masuk 5 besar negara paling bersih versi Corruption Perceptions Index 2024 oleh Transparency International).
Pajak, dalam sistem seperti itu, bukan beban. Tapi investasi ke masa depan bersama.
Saatnya Negara Dijalankan Sesuai Fungsinya
Menurut prinsip Partai X, negara memiliki tiga fungsi utama:
- Melindungi rakyat
- Melayani kebutuhan publik
- Mengatur kehidupan bersama dengan adil
Namun, saat ini fungsi-fungsi itu sering kali berubah menjadi:
- Melindungi kekuasaan, bukan rakyat
- Melayani pejabat, bukan publik
- Mengatur dengan aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas
Rakyat tidak merasa dilindungi saat laporannya diabaikan. Tidak merasa dilayani saat mengurus KTP pun makan waktu berminggu-minggu. Dan tidak merasa diatur dengan adil saat hukum hanya tegas pada yang kecil.
Politik Bukan Alat Dagang Kekuasaan
Menurut Partai X, politik adalah upaya dan bentuk perjuangan untuk mendapatkan dan menjalankan kewenangan secara efektif, efisien, dan transparan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bukan jalan untuk memperkaya segelintir orang. Namun saat ini, jabatan justru menjadi komoditas. Kekuasaan diperjualbelikan. Kursi jabatan dipakai sebagai transaksi balas jasa.
Yang dibutuhkan Indonesia adalah negarawan, bukan sekadar pejabat. Yang mengerti bahwa tugas mereka bukan membangun pencitraan. Tapi mengelola negara secara efektif, efisien, dan transparan. Yang paham bahwa rakyat adalah pemilik negara ini, dan mereka hanya pengelola yang harus bekerja, bukan berkuasa.
Kesimpulan: Rakyat Harus Sadar, Sistem Harus Diubah
Pajak bukan soal angka. Tapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan hanya tumbuh di sistem yang adil. Kedaulatan rakyat bukan mitos. Tapi hak yang harus terus diperjuangkan. Kritik bukan ancaman. Tapi vitamin demokrasi.
Jika negara ingin berjalan sehat, rakyat harus dilibatkan kembali, bukan sekadar saat pemilu, tapi dalam setiap proses pengambilan keputusan. Saatnya rakyat sadar peran. Saatnya negara dijalankan sesuai fungsinya.