Oleh Rinto Setiyawan – Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Dalam sejarah panjang bangsa ini, ada segelintir tokoh yang tidak memegang kekuasaan formal, tidak duduk di parlemen, tidak memimpin partai, tapi pengaruhnya jauh menembus hati rakyat dan nurani kekuasaan. Salah satunya adalah Emha Ainun Nadjib, atau yang lebih akrab kita panggil Cak Nun.
Bagi kami di Sekolah Negarawan X Institute, Cak Nun bukan sekadar budayawan atau penyair. Beliau adalah penuntun arah bangsa. Sosok yang mampu menjadi navigator moral dan spiritual di tengah kekacauan kekuasaan, ekonomi, dan sosial yang kadang membuat rakyat kehilangan pegangan.
Apa yang membuat Cak Nun istimewa? Beliau bukan tokoh partisan, bukan elit kekuasaan, bukan pula pencari popularitas. Ia berdiri di tengah rakyat, menyapa lewat Maiyah, memeluk mereka dengan bahasa sederhana namun menghentak jiwa. Beliau bukan penguasa, tapi penjaga arah. Bukan pengambil keputusan, tapi penegur nurani.
Dalam kerangka 4 pilar negara yang kami rumuskan sebagai komponen sedulur papat, Cak Nun justru hadir di keempatnya dan bahkan menjadi jembatan di antara mereka.
1. Kaum Intelektual: Ia yang Menyentuh Otak Bangsa
Cak Nun tak hanya bicara rasa, tapi juga mengajak berpikir dengan jernih. Lewat refleksi filsafat, tafsir sosial, hingga menjelaskan politik dengan cara yang halus tapi menusuk, ia menyentuh kaum intelektual dan menantang mereka untuk tidak hanya menjadi penikmat logika, tapi penyalur hikmah.
Ia mengingatkan, tugas intelektual bukan sekadar mengisi jurnal, tapi menghidupkan nurani berpikir rakyat dan penguasa.
2. Kaum Agama dan Spiritual: Ia yang Menjaga Hati Bangsa
Cak Nun adalah santri, penyair, dan penjelas spiritual. Ia tak pernah menukar dalil untuk proyek, tak menjadikan surga sebagai komoditas kekuasaan. Ia menjaga agama agar tetap membebaskan, bukan membelenggu.
Cak Nun tegak berdiri sebagai penjaga hati umat, mengingatkan bahwa agama bukan pelayan negara, tapi pembebas jiwa dari kerakusan kuasa. Ia menolak komersialisasi doa dan politisasi surga.
3. TNI–Polri: Ia yang Bicara Tentang Keteguhan Tanpa Kekerasan
Meski tidak berseragam, Cak Nun dihormati oleh banyak prajurit dan perwira. Karena ia berbicara tentang negara bukan dengan doktrin kaku, tapi dengan kasih yang tegas.
Ia memahami bahwa TNI dan Polri adalah tulang punggung negara, tapi tulang itu tidak boleh bengkok karena tekanan elit penguasa. Ia membisikkan bahwa menjaga negara bukan hanya soal senjata, tapi soal keteguhan jiwa dan cinta pada rakyat.
4. Kaum Budaya dan Adat Istiadat: Ia yang Menjadi Darah dan Daging Bangsa
Cak Nun adalah darah kebudayaan. Ia tidak lahir dari istana, tapi dari langit-langit langgar dan lantai panggung kampung. Dialah wajah dari Indonesia yang sesungguhnya: puitis, egaliter, spiritual, dan bermartabat.
Ia menjadikan kebudayaan sebagai kendaraan kesadaran, bukan sekadar tontonan. Ia hidup dalam nilai-nilai adat, bahasa ibu, dan laku kultural yang memperkuat jati diri bangsa.
Penutup: Sosok Penengah, Bukan Pemecah
Cak Nun hari ini menjadi navigator empat pilar negara bukan karena ia diberi mandat elit partai politik, tapi karena ia diberi kepercayaan oleh hati rakyat. Ia tak pernah memburu jabatan, tapi suara dan nasihatnya menggema ke ruang-ruang kekuasaan.
Dan dalam situasi hari ini ketika kaum intelektual takut bersuara, agamawan sibuk berebut panggung, aparat terjebak loyalitas elite, dan budaya tercerabut dari akar kehadiran seorang penyeimbang seperti Cak Nun adalah anugerah.
Ia tidak mengajak rakyat untuk melawan negara, tapi mengingatkan negara untuk kembali kepada rakyat.