beritax.id – Sebuah bom waktu ketidakadilan sosial tengah berdetak di tubuh Indonesia. Data resmi Kementerian ATR/BPN mengungkap satu keluarga tunggal menguasai 1,8 juta hektare lahan tiga kali luas Pulau Bali. Sementara itu, 60 keluarga besar pemilik korporasi menguasai hampir setengah dari total tanah non-hutan yang mencapai 70 juta hektare. Rakyat kebanyakan hanya bisa menatap dari kejauhan, ketika jutaan keluarga bahkan tidak memiliki sepetak tanah untuk bertahan hidup. Ironi ini terjadi bersamaan dengan laporan Bank Dunia yang menyatakan bahwa 60,3 persen rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional.
Ketimpangan Tanah Bukan Isu Baru, Tapi Kini Dinyatakan Negara
Pernyataan resmi ini menjadi momen kritis. Ketimpangan penguasaan tanah yang selama ini menjadi pembicaraan di ruang akademik dan advokasi rakyat kini diakui langsung oleh negara. Namun, pengakuan tanpa tindakan hanya akan menambah frustrasi publik. Menanggapi fakta memilukan ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute Prayogi R Saputra menyampaikan sikap tegas.
“Kalau negara sudah mengakui, tapi tetap tidak bertindak, itu berarti negara tidak lagi mengatur demi rakyat. Tugas pemerintah itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi bagaimana mungkin rakyat bisa diatur kalau tanahnya dikuasai oligarki?” ujar Prayogi dengan nada geram.
Dalam pernyataan resminya, Partai X menyoroti bahwa dominasi tanah bukan hanya soal ekonomi, tetapi sejarah panjang perampasan hak. Dari feodalisme, kolonialisme, hingga kapitalisme modern, tanah selalu menjadi sumber konflik. Kini, tanah bahkan jadi instrumen spekulasi pasar. Sistem hukum justru sering melindungi pemilik modal ketimbang keadilan sosial.
Menurut data BPS 2024, 60 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal tanpa perlindungan memadai. Banyak di antaranya adalah petani gurem yang tidak memiliki lahan sendiri. “Bekerja saja tidak cukup kalau tanah dan penghasilan dikuasai segelintir pejabat,” tegas Prayogi.
Reforma Agraria Bukan Lagi Agenda Romantis
Partai X menegaskan bahwa reforma agraria bukan lagi wacana ideologis, tapi kebutuhan praktis. Tanpa pembagian tanah yang adil, cita-cita Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi utopia. Reformasi ekonomi tak akan mungkin tercapai jika ketimpangan ini terus dipelihara. “Tanah adalah alat produksi. Siapa menguasai tanah, dia menguasai pangan, harga, dan hidup rakyat,” kata Prayogi.
Partai X mendesak Presiden dan DPR untuk menginisiasi langkah konkret dalam waktu dekat, termasuk moratorium penguasaan lahan berskala besar, redistribusi tanah kepada petani dan nelayan kecil, serta audit menyeluruh terhadap hak guna usaha (HGU) dan konsesi lahan industri.
Menghadapi jebakan negara kelas menengah (middle income trap), Partai X mengusulkan lompatan paradigma. Ekonomi Indonesia harus berbasis pada pembangunan manusia, bukan sekadar pertumbuhan angka PDB. Populasi besar bukan beban, tapi aset. Namun aset itu tidak bisa berkembang jika tanah sebagai sumber kehidupan dikuasai segelintir orang.
Reforma agraria sejati, menurut Partai X, adalah prasyarat pembangunan berkeadilan. Distribusi tanah yang adil akan mengurangi kemiskinan, memperkuat ekonomi desa, dan membuka lapangan kerja riil yang bermartabat.
“Ini bukan sekadar soal tanah. Ini soal keadilan. Jika negara terus menunda, maka bom waktu ketimpangan akan meledak,” tutup Prayogi.
Partai X menyerukan semua pihak akademisi, jurnalis, pemuka agama, dan masyarakat sipil untuk bersama mendorong agenda reforma agraria. Bukan demi ideologi, tapi demi kehidupan yang adil, manusiawi, dan berdaulat di tanah sendiri.