beritax.id – Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo, menekankan pentingnya investasi teknologi untuk memperkuat intelijen nasional. Pernyataan ini disampaikan dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-79 Badan Intelijen Negara (BIN), Kamis, di Jakarta.
Menurut Bamsoet, era disrupsi digital menuntut BIN tak lagi bergantung pada metode konvensional dalam menghadapi ancaman keamanan. “Transformasi digital dan penguatan analisis prediktif adalah keniscayaan,” tegasnya dalam pernyataan resmi kepada publik dan media nasional.
Ancaman siber tidak lagi sekadar peretasan, tapi telah masuk ke spionase, sabotase data, dan operasi disinformasi berskala luas. Bamsoet menyebut BIN harus proaktif dalam memetakan aktor ancaman digital yang menargetkan infrastruktur strategis nasional Indonesia.
Ia menyoroti lebih dari 400 juta serangan siber sepanjang 2023 sebagai sinyal darurat keamanan data publik dan negara. “Indonesia rawan serangan karena memiliki lebih dari 221 juta pengguna internet aktif,” kata Bamsoet mengutip data dari BSSN.
Partai X: Lindungi Rakyat, Jangan Intip Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R Saputra, mengkritik keras arah penguatan intelijen yang mengarah pada kontrol publik terselubung. “Negara harus melindungi rakyat, bukan mengawasi mereka diam-diam atas nama keamanan,” tegas Prayogi dalam pernyataan tertulisnya.
Menurutnya, pembangunan sistem pengawasan digital tanpa akuntabilitas justru melahirkan ketakutan, bukan rasa aman di tengah masyarakat. “Jangan jadikan teknologi alat untuk menaklukkan rakyat. Ini melenceng dari semangat keadilan sosial,” tambah Direktur X-Institute itu.
Partai X menegaskan bahwa negara wajib mewujudkan keamanan sebagai hak rakyat, bukan sebagai dalih untuk mengekang kebebasan sipil. “Negara adalah bus milik rakyat. Intelijen hanya sopir, bukan pemilik,” ujar Prayogi, mengutip filosofi struktur kenegaraan Partai X.
Solusi: Audit Publik dan Etika Digital Intelijen
Prinsip Partai X menyebut bahwa pemerintah hanyalah sebagian kecil rakyat yang diberi wewenang untuk melayani secara transparan.
Ketika intelijen kehilangan transparansi, maka kepercayaan publik juga lenyap. Negara justru menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri.
Partai X mendorong pembentukan komite pengawas independen untuk memastikan penguatan BIN tidak keluar dari jalur etika kenegaraan. Investasi teknologi tanpa etika hanya akan melahirkan otoritarianisme digital yang membahayakan demokrasi dan kebebasan berekspresi.
BIN harus memperkuat kapasitas, tapi juga tunduk pada prinsip keterbukaan dan pengawasan. Bukan beroperasi dalam bayang-bayang kekuasaan. “Intelijen itu penting, tapi jangan sampai jadi intel yang membungkam kritik. Negara harus hadir, bukan mengintai,” tutup Prayogi.