beritax.id – Seorang Direktur Jenderal Pajak, pejabat tertinggi di otoritas perpajakan negara, secara terang-terangan merangkap jabatan sebagai Komisaris Utama di Bank Tabungan Negara (BTN) sebuah BUMN yang juga merupakan objek pengawasan pajaknya, maka publik layak bertanya: masih adakah keadilan dalam sistem perpajakan Indonesia?
Ini bukan sekadar masalah etik. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip dasar hukum, pemerintahan yang baik, dan keadilan konstitusional. Kami dari Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menyatakan keprihatinan dan penolakan keras terhadap praktik rangkap jabatan yang dilakukan oleh Dirjen Pajak saat ini.
Benturan Kepentingan yang Telanjang
Dirjen Pajak adalah panglima dalam pengawasan, pemeriksaan, dan penindakan terhadap wajib pajak. Ia digaji dari APBN, dibiayai oleh rakyat, dan diberi mandat untuk bersikap adil dan netral terhadap seluruh wajib pajak, baik rakyat kecil, pelaku UMKM, perusahaan swasta, maupun BUMN seperti BTN.
Namun bagaimana mungkin seorang Dirjen dapat bersikap objektif terhadap BTN. JIka pada saat yang sama ia menerima gaji dan fasilitas sebagai Komisaris Utama BTN? Ini adalah konflik kepentingan struktural, dan merupakan bentuk potensi penyalahgunaan kekuasaan yang terang benderang.
Tanggapan Partai X Mengenai Rangkap Jabatan
Partai X menyatakan keprihatinan mendalam atas polemik rangkap jabatan Direktur Jenderal Pajak sebagai Komisaris Utama Bank Tabungan Negara (BTN). Tindakan ini dinilai mencederai prinsip keadilan perpajakan dan berpotensi melanggar hukum yang berlaku.
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa tindakan tersebut melanggar prinsip pemerintahan yang efektif, efisien, dan transparan sebagaimana ditekankan dalam nilai dasar Partai X. “Rangkap jabatan ini tidak hanya berbahaya secara etis, tetapi juga menabrak berbagai aturan hukum yang mengatur tentang netralitas dan profesionalisme pejabat publik,” ujar Rinto.
Partai X menyoroti potensi benturan kepentingan yang muncul. Sebagai pengawas pemungutan pajak, seorang Dirjen Pajak harus bersikap netral terhadap seluruh wajib pajak, termasuk BUMN seperti BTN. Dengan merangkap jabatan sebagai Komisaris Utama, independensi tersebut diragukan. “Bagaimana bisa seorang Dirjen Pajak bersikap objektif jika ia turut menerima gaji dan fasilitas dari institusi yang seharusnya diawasi?” tambah Rinto.
Pelanggaran Terhadap Undang-Undang
Praktik rangkap jabatan ini melanggar banyak ketentuan hukum:
- UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang melarang ASN merangkap jabatan sebagai komisaris perusahaan.
- UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN yang menegaskan profesionalisme dan bebas dari konflik kepentingan.
- UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang melarang penggunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
- UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang mewajibkan komisaris bertindak independen.
- Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara.
- UUD 1945 Pasal 28D Ayat (1) yang menjamin keadilan hukum bagi setiap warga negara.
“Kami menuntut Presiden segera mencopot jabatan Komisaris Utama BTN dari Dirjen Pajak demi menjaga kepercayaan publik terhadap institusi perpajakan,” tegas Rinto. Partai X juga mendesak pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh terhadap praktik rangkap jabatan di kementerian dan BUMN guna memastikan pemerintahan yang bersih dan berkeadilan.
“Pemerintah seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan kebijakan dijalankan secara efektif, efisien, dan transparan. Rangkap jabatan seperti ini justru memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan yang seharusnya adil bagi semua pihak,” tutup Rinto.
Partai X berkomitmen untuk terus mengawal isu ini dengan pendekatan kritis, obyektif, dan solutif sesuai dengan prinsip dasar perjuangan partai.