beritax.id – Kasus intimidasi dan penangkapan yang dialami Band Sukatani, grup musik asal Purbalingga, Jawa Tengah, menjadi sorotan publik. Sejak Juli 2024, band dengan genre punk ini mengalami berbagai bentuk tekanan, termasuk pengintaian dan pencarian informasi oleh pihak kepolisian. Puncaknya, pada 20 Februari 2025, Sukatani terpaksa menarik lagu mereka berjudul “Bayar Bayar Bayar” dari seluruh platform musik setelah mendapat tekanan dari Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Ahmad Syamsuddin Arief, yang menjadi kuasa hukum band tersebut, intimidasi ini merupakan upaya sistematis untuk membungkam kritik. “Bentuk intimidasi yang diterima Sukatani beragam, mulai dari pengintaian, pencarian informasi melalui orang-orang di sekitar band, hingga tekanan untuk meminta maaf secara terbuka,” kata Arief.
Permintaan Maaf di Bawah Tekanan
Dalam video permintaan maaf yang diunggah di akun Instagram @sukatani.band, kedua personel band, Muhammad Syifa Al Lutfi (Alectroguy) dan Novi Citra Indriyati (Twister Angel), terpaksa menampilkan wajah mereka tanpa topeng—sesuatu yang tidak biasa dilakukan selama ini. Arief mengungkapkan bahwa hal ini dilakukan di bawah tekanan polisi. “Iya betul (atas intimidasi polisi),” ujarnya.
Lagu “Bayar Bayar Bayar” yang ditarik tersebut mengandung lirik kontroversial yang dianggap mengkritik institusi kepolisian. Viralnya lagu ini memicu reaksi keras dari pihak berwajib, yang kemudian berujung pada intimidasi dan tekanan terhadap band tersebut.
Prinsip Partai X: Kebebasan Berekspresi Seni dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Menanggapi kasus ini, Rinto Setiyawan, anggota Majelis Tinggi Partai X, menyatakan bahwa tindakan intimidasi terhadap Sukatani adalah bukti bahwa pemerintah takut dikritisi. “Kasus Sukatani menunjukkan betapa rapuhnya kebebasan berekspresi di negeri ini. Ini adalah bentuk ketakutan pemerintah terhadap kritik dari rakyat,” ujar Rinto.
Rinto menegaskan bahwa Partai X selalu mengedepankan prinsip kebebasan berekspresi dan perlindungan hak asasi manusia. “Kami percaya bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi. Membungkam kritik dengan intimidasi dan tekanan adalah langkah mundur bagi demokrasi kita,” tegasnya.
Dampak Intimidasi terhadap Dunia Seni
Kasus Sukatani bukan hanya berdampak pada band tersebut, tetapi juga pada komunitas seni secara luas. Banyak seniman dan musisi yang merasa khawatir akan kebebasan berekspresi mereka. “Jika seniman tidak bisa bebas berekspresi, maka kreativitas akan mati. Ini adalah kerugian besar bagi bangsa kita,” kata Rinto.
Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya melindungi hak-hak seniman, bukan malah membungkam mereka. “Seniman adalah suara rakyat. Jika suara mereka dibungkam, maka suara rakyat juga akan hilang,” ujarnya.
Seruan untuk Perlindungan Seniman
Rinto Setiyawan menyerukan agar pemerintah dan aparat penegak hukum menghormati hak-hak seniman dan warga negara untuk berekspresi. “Kami mendesak pemerintah untuk menghentikan intimidasi terhadap Sukatani dan seniman lainnya. Kebebasan berekspresi harus dijunjung tinggi,” tegasnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi seniman dari intimidasi dan tekanan. “Kami akan terus mengawasi dan mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa kasus seperti ini tidak terulang,” ujarnya.
Kesimpulan
Kasus intimidasi dan penangkapan yang dialami Band Sukatani menjadi bukti nyata betapa pemerintah takut dikritisi. Dengan prinsip kebebasan berekspresi dan perlindungan hak asasi manusia yang diusung oleh Partai X, diharapkan pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa seniman dan warga negara lainnya dapat berekspresi tanpa rasa takut.