beritax.id – Indonesia telah memilih jalan republik dengan demokrasi sebagai fondasi. Namun dalam praktik belakangan ini, muncul gejala yang mengkhawatirkan bangkitnya kembali budaya feodal dalam penyelenggaraan kekuasaan. Kekuasaan diperlakukan sebagai simbol kehormatan yang harus dijaga, bukan amanah yang wajib dipertanggungjawabkan. Kritik dipersepsikan sebagai ketidaksopanan, sementara kepatuhan dianggap sebagai kebajikan utama. Dalam iklim seperti ini, rakyat perlahan tersingkir dari peran utamanya sebagai pemilik kedaulatan.
Berbagai keputusan strategis baik di tingkat pusat maupun daerah sering lahir tanpa dialog publik yang memadai. Proses pemerintahan lebih banyak berlangsung di ruang pejabat, sementara rakyat hanya menerima hasil akhirnya. Partisipasi warga dibatasi pada momen seremonial, bukan keterlibatan substantif.
Rakyat hadir sebagai penonton yang menyaksikan jalannya kekuasaan, bukan sebagai aktor yang menentukan arah.
Kritik Dianggap Tidak Tahu Diri
Dalam budaya feodal, kekuasaan menuntut penghormatan mutlak. Pola ini mulai terasa kembali ketika kritik publik dilabeli sebagai gangguan stabilitas atau kurang etika. Alih-alih dijawab dengan argumen dan data, kritik sering dibalas dengan stigma. Akibatnya, ruang diskusi publik menyempit dan rasa takut menggantikan keberanian bersuara.
Demokrasi yang sehat membutuhkan kritik; feodalisme justru mematikannya.
Simbol Kekuasaan Lebih Penting dari Pelayanan
Bangkitnya feodalisme juga tercermin dalam orientasi kekuasaan yang lebih menonjolkan simbol jabatan, fasilitas, dan citra daripada fungsi pelayanan. Negara terlihat sibuk menjaga wibawa pejabat, tetapi kurang sigap memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Ketimpangan ini memperlebar jarak antara penguasa dan warga.
Ketika simbol mengalahkan substansi, keadilan menjadi korban.
Solusi: Membongkar Feodalisme, Menguatkan Kedaulatan Rakyat
Untuk menghentikan kebangkitan budaya feodal, negara harus secara sadar menegaskan kembali prinsip demokrasi substantif. Kekuasaan perlu diperlakukan sebagai mandat yang bisa dikritik dan dievaluasi, bukan status yang harus disakralkan. Ruang partisipasi publik harus diperluas agar rakyat terlibat sejak perencanaan kebijakan, bukan hanya menerima hasilnya. Transparansi dan akuntabilitas pejabat wajib diperkuat agar kekuasaan tidak menjauh dari rakyat. Pendidikan politik dan kewarganegaraan juga penting untuk menanamkan kesadaran bahwa dalam republik, semua pejabat setara di hadapan hukum dan rakyat.
Feodalisme mungkin nyaman bagi kekuasaan, tetapi berbahaya bagi republik. Jika rakyat terus dijadikan penonton, demokrasi akan kehilangan maknanya. Negara hanya akan kuat jika rakyat kembali menjadi aktor utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.



