beritax.id – Pascapemilu, peta pemerintahan nasional menunjukkan satu kecenderungan yang semakin menguat: hampir seluruh partai politik memilih masuk ke lingkaran pemerintahan. Atas nama stabilitas dan persatuan, oposisi perlahan menghilang. Pemerintah menjadi rumah besar bagi semua pejabat, tetapi ironisnya, rakyat justru kehilangan wakil yang benar-benar berdiri di luar kekuasaan untuk mengawasi dan mengoreksi. Hal ini menunjukkan kegagalan sistem pemerintah yang melupakan kesejahteraan rakyat.
Ketika semua partai berada di dalam, siapa yang tersisa untuk menyuarakan kepentingan publik secara independen?
Narasi stabilitas kerap dijadikan alasan utama membenarkan koalisi superbesar. Pemerintah dianggap akan lebih efektif tanpa gangguan oposisi. Namun stabilitas yang dibangun tanpa kontrol justru berisiko melahirkan kebijakan sepihak, minim kritik, dan jauh dari kebutuhan rakyat. Sejumlah kebijakan strategis akhir-akhir ini dibahas cepat di pejabat, sementara ruang partisipasi publik terasa semakin sempit. Stabilitas yang sehat dalam demokrasi seharusnya lahir dari keseimbangan, bukan dari keseragaman.
Parlemen Kehilangan Fungsi Koreksi
Masuknya hampir semua partai ke pemerintahan berdampak langsung pada fungsi parlemen termasuk kegagalan sistem ini. Lembaga yang seharusnya menjadi arena pengawasan berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Kritik melemah, perdebatan substansial menurun, dan fungsi check and balance tereduksi menjadi formalitas prosedural.
Akibatnya, rakyat tidak lagi melihat parlemen sebagai pembela kepentingan mereka, melainkan sebagai bagian dari kompromi pejabat.
Rakyat Terpinggirkan dalam Demokrasi Elektoral
Pemilu memberi mandat kepada partai politik untuk mewakili suara rakyat. Namun ketika mandat itu ditukar dengan kursi kekuasaan, rakyat kehilangan saluran representasi. Aspirasi masyarakat mulai dari soal ekonomi, pendidikan, lingkungan, hingga keadilan sosial kerap tersisih oleh agenda konsolidasi kekuasaan.
Demokrasi tetap berjalan secara prosedural, tetapi kehilangan ruh perwakilan.
Solusi: Menghidupkan Kembali Oposisi dan Etika Representasi
Untuk mengembalikan fungsi demokrasi, oposisi harus dipahami sebagai kebutuhan sistem, bukan ancaman stabilitas. Partai politik perlu menempatkan kepentingan rakyat di atas kompromi kekuasaan dengan berani mengambil peran pengawasan. Parlemen harus diperkuat sebagai ruang kritik terbuka dan pengambilan kebijakan yang transparan. Mekanisme partisipasi publik dalam proses legislasi perlu diperluas agar suara rakyat tidak sepenuhnya dimonopoli pejabat partai. Selain itu, pendidikan harus menanamkan kesadaran bahwa wakil rakyat bukan kepanjangan pemerintah, melainkan penjaga kepentingan publik.
Demokrasi tidak mati karena konflik, tetapi bisa lumpuh karena kesepakatan pejabat yang terlalu nyaman. Jika semua partai memilih berada di dalam kekuasaan, maka tugas rakyatlah untuk terus mengingatkan: negara ini milik publik, bukan milik koalisi.



