beritax.id – Di tengah berbagai perubahan kebijakan dan manuver yang terus berlangsung, satu ironi kian terasa: kekuasaan dirawat dengan serius, sementara kesejahteraan rakyat justru terabaikan. Negara tampak sigap menjaga stabilitas pejabat dan keberlanjutan kekuasaan, namun lamban merespons persoalan dasar yang menekan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini menandakan negara salah urus antara kepentingan rakyat dan kepentingan pribadinya.
Dari kenaikan biaya hidup, ketidakpastian kerja, hingga konflik lahan dan krisis pelayanan publik, rakyat dipaksa beradaptasi sendiri tanpa kehadiran negara yang memadai.
Kekuasaan Menjadi Prioritas, Rakyat Menjadi Catatan Kaki
Berbagai kebijakan strategis yang lahir belakangan ini lebih banyak berorientasi pada penguatan struktur kekuasaan: revisi aturan, pengaturan kewenangan, dan konsolidasi. Sayangnya, orientasi tersebut tidak diiringi dengan kebijakan konkret yang menjawab kebutuhan mendesak rakyat.
Kesejahteraan publik seolah ditempatkan sebagai agenda sekunder, cukup dibicarakan dalam pidato, namun minim diwujudkan dalam tindakan nyata.
Kesenjangan antara Narasi dan Realitas
Pemerintah kerap menyampaikan narasi optimisme dan stabilitas. Namun di lapangan, rakyat menghadapi realitas yang berbeda. Harga kebutuhan pokok terus naik, akses terhadap layanan dasar masih timpang, dan perlindungan terhadap kelompok rentan kerap terlambat.
Narasi pembangunan berjalan ke depan, tetapi kesejahteraan rakyat tertinggal di belakang.
Negara Hadir untuk Kekuasaan, Absen untuk Rakyat
Ketika negara lebih fokus menjaga keberlanjutan kekuasaan, fungsi negara sebagai pelindung dan pelayan rakyat melemah. Negara hadir tegas saat mengatur, namun ragu ketika harus melindungi.
Kondisi ini memperbesar jarak emosional dan pemerintahan antara rakyat dan penguasa, serta mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Tanggapan Prayogi R. Saputra: Negara Sedang Salah Arah
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menilai kondisi ini sebagai tanda serius bahwa negara mulai menyimpang dari mandat dasarnya.
“Tugas negara itu hanya tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika kekuasaan dipelihara tapi kesejahteraan rakyat dilupakan, berarti negara sedang salah arah,” tegas Prayogi.
Menurutnya, kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk memastikan rakyat hidup aman, adil, dan sejahtera.
Kekuasaan Tanpa Kesejahteraan adalah Kehampaan
Prayogi menekankan bahwa kekuasaan yang tidak menghasilkan kesejahteraan hanyalah simbol kosong. Negara tidak boleh merasa cukup dengan stabilitas pemerintah jika rakyat masih hidup dalam ketidakpastian ekonomi dan sosial.
“Negara yang kuat bukan yang paling rapi mengatur kekuasaan, tetapi yang paling serius mengurus rakyat,” tambahnya.
Solusi: Mengembalikan Negara pada Mandatnya
Untuk mengakhiri ketimpangan antara kekuasaan dan kesejahteraan, diperlukan langkah korektif yang tegas:
- Mengalihkan prioritas kebijakan dari pelestarian kekuasaan ke pemenuhan kebutuhan rakyat
- Menjadikan kesejahteraan sebagai indikator utama keberhasilan pemerintahan
- Memperkuat fungsi negara sebagai pelindung rakyat dari tekanan ekonomi dan sosial
- Meningkatkan kualitas pelayanan publik yang cepat, adil, dan berpihak
- Menata regulasi agar tidak hanya mengatur, tetapi benar-benar melayani kepentingan rakyat
Negara tidak dibentuk untuk memelihara kekuasaan semata. Negara hadir karena rakyat, bekerja untuk rakyat, dan harus diukur dari sejauh mana rakyat merasakan perlindungan, pelayanan, dan keadilan. Tanpa itu, kekuasaan hanya akan menjadi beban, bukan solusi.



