beritax.id – Dalam dinamika pemerintahan Indonesia belakangan ini, publik menyaksikan kecenderungan pemimpin dan pejabat kekuasaan yang semakin sulit dikoreksi. Kritik kerap diposisikan sebagai ancaman stabilitas, bukan sebagai bagian sehat dari demokrasi. Ketika kebijakan dipertanyakan, respons yang muncul sering kali defensif, bahkan berujung pada upaya membatasi ruang kritik.
Situasi ini memunculkan kesan bahwa kekuasaan tidak lagi merasa perlu “turun” mendengar rakyat, melainkan menunggu rakyat menyesuaikan diri.
Mandat Rakyat yang Terlupakan
Berbagai polemik kebijakan mulai dari wacana pengurangan hak pilih melalui mekanisme tidak langsung, pembahasan regulasi yang memperkuat pejabat, hingga keputusan strategis yang minim partisipasi publik memperlihatkan jarak antara mandat rakyat dan praktik kekuasaan. Padahal, legitimasi kepemimpinan bersumber dari rakyat, bukan dari kenyamanan sistem pemerintahan.
Ketika pemimpin lupa bahwa mandat bisa dipertanyakan, rakyat dipaksa mencari cara lain untuk bersuara.
Perlawanan sebagai Bahasa Terakhir
Sejarah demokrasi, termasuk di Indonesia, menunjukkan bahwa perlawanan rakyat tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir ketika saluran formal tertutup, dialog diabaikan, dan aspirasi dipinggirkan. Aksi protes, kritik keras di ruang publik, hingga tekanan sosial adalah bentuk perlawanan yang muncul ketika pemimpin enggan turun dari menara kekuasaan.
Perlawanan bukan selalu soal kekerasan, melainkan upaya mempertahankan hak dan martabat.
Risiko Membiarkan Kekuasaan Tanpa Rem
Kekuasaan yang tidak mau dikoreksi berisiko berubah menjadi otoritarianisme prosedural tampak demokratis di atas kertas, tetapi menutup ruang kontrol di praktik. Jika kondisi ini dibiarkan, kepercayaan publik akan runtuh dan konflik sosial berpotensi membesar. Negara bisa berjalan, tetapi tanpa legitimasi moral dari warganya.
Demokrasi tidak runtuh karena rakyat terlalu kritis, melainkan karena pemimpin terlalu kebal kritik.
Solusi: Membuka Ruang Koreksi, Menguatkan Partisipasi
Untuk mencegah perlawanan menjadi satu-satunya bahasa rakyat, pemimpin dan institusi negara harus membuka ruang koreksi yang nyata dan aman. Dialog publik perlu dipulihkan sebagai mekanisme utama penyelesaian konflik kebijakan. Transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan agar keputusan dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Mekanisme partisipasi rakyat baik melalui pemilu langsung, konsultasi publik, maupun pengawasan kebijakanharus diperkuat, bukan dipersempit. Di saat yang sama, pendidikan warga perlu ditingkatkan agar perlawanan tetap berada dalam koridor konstitusional dan berorientasi pada perbaikan sistem.
Pemimpin yang mau turun mendengar rakyat tidak akan diturunkan oleh rakyat. Tetapi ketika kekuasaan menutup telinga, perlawanan menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.



