beritax.id – Narasi stabilitas kembali digunakan sebagai alasan untuk mendorong gagasan kekuasaan jangka panjang, bahkan tanpa batas. Di tengah berbagai krisis yang masih dihadapi rakyat mulai dari tekanan ekonomi, konflik sosial, hingga bencana ekologis wacana pengabadian kekuasaan justru mencuat ke permukaan. Publik pun bertanya, stabilitas untuk siapa dan dengan harga apa?
Alih-alih memperkuat tata kelola negara, narasi ini memunculkan kekhawatiran serius akan penyempitan ruang demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Stabilitas sebagai Alasan Kekuasaan
Istilah “stabilitas nasional” kerap dipakai untuk membungkam kritik dan membenarkan kebijakan yang minim partisipasi publik. Dalam konteks wacana kekuasaan abadi, stabilitas tidak lagi dimaknai sebagai kesejahteraan dan rasa aman rakyat, melainkan sebagai kelanggengan kekuasaan pejabat.
Ketika stabilitas dijadikan dalih utama, demokrasi diposisikan sebagai risiko, bukan sebagai fondasi negara.
Demokrasi yang Dianggap Gangguan
Gagasan kekuasaan jangka panjang mengirim pesan berbahaya: bahwa pergantian kepemimpinan dianggap menghambat pembangunan. Pemilu, kritik publik, dan oposisi dipandang sebagai sumber kegaduhan, bukan mekanisme koreksi.
Pandangan ini menunjukkan pergeseran cara berpikir penguasa—dari melayani rakyat menuju mengamankan posisi.
Risiko Kekuasaan Tanpa Batas
Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan yang terlalu lama terkonsentrasi akan cenderung kehilangan akuntabilitas. Tanpa batas masa jabatan yang jelas, pengawasan melemah, kritik ditekan, dan kebijakan berpotensi semakin jauh dari kebutuhan rakyat.
Dalam kondisi seperti ini, negara berisiko berubah dari alat pelayanan publik menjadi alat perlindungan kekuasaan.
Tanggapan Partai X: Negara Bukan Milik Penguasa
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa stabilitas sejati tidak lahir dari kekuasaan yang abadi, melainkan dari kepercayaan rakyat.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ketika kekuasaan ingin abadi atas nama stabilitas, itu tanda negara mulai melenceng dari mandatnya. Stabilitas tanpa demokrasi hanya akan melahirkan ketakutan, bukan kesejahteraan,” ujar Prayogi.
Ia menambahkan bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan pemilik negara.
Bahaya Normalisasi Kekuasaan Abadi
Yang paling berbahaya bukan hanya wacananya, tetapi upaya menormalkan gagasan tersebut di ruang publik. Ketika kekuasaan tanpa batas dianggap wajar, rakyat perlahan kehilangan hak dasarnya untuk mengoreksi dan mengganti pemimpin.
Demokrasi tidak runtuh dalam satu malam, tetapi terkikis melalui pembenaran-pembenaran yang berulang.
Solusi dan Rekomendasi
Sebagai langkah menjaga demokrasi dan kedaulatan rakyat, diperlukan upaya nyata sebagai berikut:
- Menegaskan batas masa jabatan sebagai prinsip demokrasi yang tidak bisa ditawar
- Memulihkan makna stabilitas sebagai kesejahteraan rakyat, bukan kelanggengan kekuasaan
- Memperkuat partisipasi publik dalam setiap wacana perubahan sistem pemerintahan
- Melindungi kebebasan berpendapat dan kritik sebagai alat koreksi negara
- Menempatkan kekuasaan sebagai amanah sementara, bukan hak permanen
Partai X menegaskan, negara yang kuat bukan negara dengan penguasa abadi, melainkan negara yang berani membatasi kekuasaan demi melindungi rakyatnya. Atas nama stabilitas, demokrasi tidak boleh dikorbankan.



