beritax.id – Pengesahan KUHP baru diklaim sebagai tonggak modernisasi hukum nasional.
Ia disebut sebagai simbol kedaulatan hukum dan pembaruan sistem pidana warisan kolonial. Namun di balik narasi pembaruan, muncul kegelisahan publik: apakah hukum yang baru benar-benar mencerminkan semangat demokrasi yang hidup? Ketika hukum diperbarui, demokrasi justru terasa berjalan di tempat.
Sejumlah ketentuan dalam KUHP baru memantik kekhawatiran karena bersifat multitafsir.
Pasal yang mengatur penghinaan, ketertiban umum, dan moralitas dinilai membuka ruang pembatasan kebebasan berekspresi. Alih-alih memberikan kepastian hukum, formulasi yang kabur justru memperbesar potensi penyalahgunaan kewenangan. Hukum yang tidak jelas berisiko menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung warga.
Demokrasi yang Masih Takut pada Kritik
Dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah vitamin, bukan ancaman. Namun regulasi yang mudah menjerat ekspresi kritis menunjukkan bahwa negara masih memandang perbedaan pendapat sebagai masalah. KUHP baru memberi kesan bahwa ketertiban lebih diutamakan daripada kebebasan, dan stabilitas lebih penting daripada partisipasi. Demokrasi tidak tumbuh dari rasa takut, tetapi dari keberanian untuk berbeda.
Dengan pasal-pasal yang longgar, posisi warga negara menjadi semakin rentan.
Masyarakat berpotensi menghadapi proses hukum bukan karena merugikan publik, melainkan karena menyampaikan pendapat yang tidak nyaman bagi kekuasaan. Situasi ini menciptakan iklim sensor mandiri dan kehati-hatian berlebihan di ruang publik. Ketika warga takut berbicara, demokrasi kehilangan suaranya.
Modernisasi Tanpa Demokratisasi
Pembaruan hukum pidana seharusnya berjalan seiring dengan penguatan nilai-nilai demokrasi. Tanpa perlindungan kuat terhadap kebebasan sipil, KUHP baru berisiko hanya menjadi kemasan baru dengan pola lama. Modernisasi hukum yang tidak dibarengi demokratisasi hanya akan memperkuat relasi kuasa yang timpang.
Solusi: Menyatukan Reformasi Hukum dengan Semangat Demokrasi
Pemerintah perlu memastikan implementasi KUHP baru tidak menyimpang dari prinsip kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Penafsiran pasal-pasal yang berpotensi multitafsir harus dipersempit melalui peraturan pelaksana yang jelas dan akuntabel. Aparat penegak hukum wajib dibekali perspektif demokrasi agar hukum tidak digunakan untuk membungkam kritik. Partisipasi publik dalam evaluasi dan pengawasan penerapan KUHP harus dibuka seluas-luasnya agar hukum benar-benar bekerja untuk rakyat. Reformasi hukum hanya akan bermakna jika ia memperluas ruang demokrasi, bukan justru menyempitkannya. KUHP boleh baru, tetapi demokrasi harus ikut tumbuh bukan tertinggal di masa lalu.



