beritax.id – Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia kerap dibanggakan sebagai bukti kemajuan zaman. Namun di balik angka transaksi yang terus meningkat, para penjual online justru menghadapi tekanan baru. Penerapan dan perluasan pajak digital, mulai dari pungutan platform hingga kewajiban administrasi yang semakin kompleks, membuat banyak pelaku usaha kecil di ruang digital kewalahan.
Bagi penjual online skala mikro dan kecil, kebijakan ini bukan sekadar angka di laporan negara, melainkan beban nyata yang langsung memengaruhi kelangsungan usaha mereka.
Penjual Online di Persimpangan Bertahan atau Tutup
Banyak pelaku UMKM digital bergantung pada margin tipis. Kenaikan pajak dan potongan platform membuat keuntungan semakin menyusut, sementara biaya logistik, bahan baku, dan promosi terus naik. Dalam kondisi seperti ini, sebagian penjual terpaksa menaikkan harga, sebagian lain memilih mengurangi produksi, bahkan ada yang menutup lapak digitalnya.
Alih-alih menjadi jalan keluar ekonomi rakyat, ruang digital justru berisiko berubah menjadi arena yang hanya ramah bagi pelaku bermodal besar.
Kebijakan Seragam, Realitas Usaha Beragam
Salah satu persoalan utama adalah pendekatan kebijakan yang cenderung seragam. Negara memperlakukan ekosistem digital seolah-olah seluruh pelakunya berada pada level yang sama, padahal kenyataannya terdapat jurang besar antara korporasi digital raksasa dan penjual rumahan.
Ketika kebijakan tidak mempertimbangkan skala dan daya tahan usaha, yang terjadi bukan pemerataan, melainkan peminggiran pelaku kecil.
Tanggapan Prayogi R. Saputra
Menanggapi kondisi tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, mengingatkan kembali fungsi dasar negara dalam menghadapi transformasi digital.
“Negara punya tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Dalam konteks pajak digital, negara tidak boleh hanya hadir sebagai penagih, tetapi juga sebagai pelindung dan pelayan bagi penjual online kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi digital,” tegas Prayogi.
Ia menambahkan bahwa pengaturan diperlukan, namun harus adil dan proporsional, agar transformasi digital tidak justru menciptakan ketimpangan baru.
Risiko Sosial Jika Tekanan Dibiarkan
Jika tekanan ini terus dibiarkan, ekosistem digital berpotensi mengalami penyempitan. Pelaku kecil tersingkir, pasar dikuasai segelintir pemain besar, dan tujuan awal digitalisasi yakni pemerataan kesempatan ekonomi gagal tercapai.
Dalam jangka panjang, negara justru kehilangan basis ekonomi rakyat yang selama ini menopang daya tahan nasional.
Kebijakan pajak digital seharusnya menjadi instrumen keadilan, bukan sekadar optimalisasi penerimaan. Negara perlu memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi digital berjalan seiring dengan perlindungan terhadap pelaku usaha kecil, bukan dengan menekan mereka hingga ke titik batas.
Solusi yang Didorong
Sebagai langkah perbaikan, sejumlah solusi perlu segera dipertimbangkan:
- Skema pajak digital yang berjenjang, membedakan perlakuan antara UMKM digital dan korporasi besar.
- Penyederhanaan administrasi pajak bagi penjual online kecil agar tidak terbebani prosedur yang rumit.
- Masa transisi dan insentif bagi UMKM digital untuk beradaptasi dengan kebijakan baru.
- Keterlibatan pelaku usaha kecil dalam perumusan kebijakan ekonomi digital.
- Penguatan fungsi negara sebagai pelindung, bukan hanya pemungut, dalam ekosistem digital.
Dengan pendekatan ini, negara menjalankan perannya secara utuh: mengatur dengan adil, melayani dengan empati, dan melindungi rakyat agar ekonomi digital benar-benar menjadi ruang tumbuh bersama, bukan arena tekanan sepihak.



