beritax.id – Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, arah kebijakan pertambangan Indonesia belakangan ini justru menimbulkan pertanyaan besar: untuk siapa negara sebenarnya bekerja?
Perpanjangan izin tambang, kemudahan konsesi, hingga revisi regulasi minerba yang menuai kritik publik menunjukkan kecenderungan negara semakin akomodatif terhadap kepentingan pengusaha tambang besar, sementara kepentingan rakyat dan lingkungan tersisih.
Karpet Merah Konsesi di Tengah Krisis Lingkungan
Di saat bencana ekologis kian sering terjadi banjir bandang, longsor, dan krisis air bersihizin pertambangan tetap melaju. Kawasan hutan dan wilayah tangkapan air terus dibuka atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kasus di berbagai daerah, mulai dari Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi, menunjukkan bahwa wilayah dengan aktivitas tambang intensif memiliki tingkat kerentanan bencana yang lebih tinggi. Namun fakta ini jarang menjadi dasar evaluasi kebijakan secara serius.
Negara Hadir sebagai Fasilitator Bisnis
Alih-alih bertindak sebagai pengendali dan pelindung kepentingan publik, negara kerap tampil sebagai fasilitator kepentingan bisnis. Regulasi disederhanakan, pengawasan dilemahkan, dan sanksi lingkungan jarang ditegakkan secara tegas.
Dalam banyak konflik antara warga dan perusahaan tambang, aparat negara justru lebih sigap menjaga kelancaran operasi dibanding memastikan keselamatan dan hak hidup masyarakat sekitar.
Rakyat dan Lingkungan Jadi Biaya Tambahan
Kerusakan ekologi akibat tambang tidak pernah benar-benar masuk dalam neraca kebijakan. Sungai tercemar, lahan pertanian rusak, dan ruang hidup masyarakat menyempit, sementara keuntungan ekonomi dinikmati segelintir pelaku usaha.
Ketika tambang meninggalkan lubang dan limbah, rakyatlah yang harus hidup dengan dampaknya tanpa jaminan pemulihan yang layak.
Situasi ini memperlihatkan pergeseran peran negara: dari pengemban amanat konstitusi menjadi pelayan kepentingan oligarki. Jika dibiarkan, negara berisiko kehilangan legitimasi moral di mata publik karena gagal menjalankan fungsi utamanya sebagaimana diatur UUD 1945.
Solusi: Mengembalikan Negara ke Jalur Konstitusi
Untuk menghentikan arah kebijakan yang melenceng, langkah-langkah berikut perlu segera dilakukan:
- Menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai rujukan utama kebijakan tambang. Bukan sekadar slogan, tetapi dasar operasional.
- Evaluasi dan peninjauan ulang izin tambang bermasalah. Terutama yang merusak lingkungan dan memicu konflik sosial.
- Penguatan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan. Tanpa kompromi terhadap pelanggaran.
- Transparansi penuh pengelolaan sumber daya alam. Agar publik mengetahui siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
- Penempatan rakyat sebagai tujuan utama kebijakan. Bukan sebagai korban dari ekspansi industri ekstraktif.
Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan pengusaha tambang, apalagi mengorbankan amanat konstitusi. Selama kebijakan sumber daya alam lebih setia pada modal daripada UUD 1945, rakyat akan terus menjadi pihak yang menanggung kerusakan, sementara kemakmuran hanya berputar di lingkaran sempit kekuasaan dan uang.



