beritax.id – Perpanjangan izin usaha pertambangan kembali menuai kritik publik. Di tengah krisis iklim, bencana ekologis berulang, dan menurunnya kualitas hidup masyarakat sekitar tambang, negara justru memberi karpet merah bagi keberlanjutan konsesi. Kebijakan ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa umur tambang diperpanjang, sementara umur lingkungan dan keselamatan rakyat justru dipersingkat?
Dalam beberapa waktu terakhir, publik menyoroti berbagai kebijakan yang mempermudah perpanjangan izin tambang melalui revisi regulasi dan skema otomatisasi. Langkah ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya laporan kerusakan lingkungan mulai dari deforestasi, pencemaran air, hingga konflik lahan dengan masyarakat lokal.
Di berbagai daerah, dampak tambang tidak hanya merusak alam, tetapi juga memicu bencana ekologis yang harus ditanggung warga.
Ekonomi Dijadikan Alasan, Ekologi Jadi Korban
Pemerintah kerap membenarkan perpanjangan izin tambang dengan alasan stabilitas ekonomi, investasi, dan penerimaan negara. Namun argumen ini jarang disertai perhitungan kerugian ekologis dan sosial yang ditanggung rakyat dalam jangka panjang.
Ketika ekonomi dijadikan dalih tunggal, lingkungan dan keselamatan warga menjadi biaya tersembunyi yang tidak pernah masuk neraca kebijakan.
Di lapangan, masyarakat sekitar tambang menghadapi kenyataan pahit: sumber air tercemar, lahan pertanian rusak, hingga ancaman kesehatan akibat aktivitas ekstraktif. Ketika izin diperpanjang tanpa evaluasi ketat, warga merasa negara lebih hadir untuk perusahaan dibandingkan untuk rakyatnya sendiri.
Situasi ini memperlebar jurang ketidakadilan dalam tata kelola sumber daya alam.
Tanggapan: Negara Tidak Boleh Menjadi Makelar Alam
Menanggapi kondisi tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menegaskan bahwa kebijakan perpanjangan tambang mencerminkan krisis orientasi negara.
“Negara punya tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika izin tambang diperpanjang tanpa perlindungan ekologis dan sosial yang ketat, maka negara gagal melindungi. Jika keluhan warga diabaikan, negara gagal melayani. Dan jika regulasi justru memudahkan perusakan, negara salah dalam mengatur,” ujar Prayogi.
Ia menekankan bahwa sumber daya alam bukan sekadar komoditas, melainkan penopang hidup rakyat.
Kerusakan yang Ditanggung Generasi Mendatang
Dampak perpanjangan tambang tidak berhenti hari ini. Kerusakan lingkungan bersifat jangka panjang dan diwariskan ke generasi berikutnya. Banjir, longsor, dan krisis air bersih adalah “tagihan masa depan” dari kebijakan yang abai hari ini.
Pembangunan yang merusak daya dukung lingkungan pada akhirnya akan menghancurkan fondasi ekonomi itu sendiri.
Solusi: Mengubah Arah Tata Kelola Tambang
Untuk menghentikan siklus kerusakan, langkah-langkah berikut perlu segera ditempuh:
- Evaluasi menyeluruh perpanjangan izin tambang
Izin harus berbasis daya dukung lingkungan dan keselamatan warga, bukan sekadar investasi. - Moratorium tambang di wilayah rentan ekologis
Lingkungan kritis harus dilindungi dari eksploitasi lanjutan. - Transparansi dan partisipasi publik
Masyarakat terdampak wajib dilibatkan dalam setiap keputusan izin. - Penegakan hukum lingkungan yang tegas
Perusahaan yang merusak harus bertanggung jawab penuh atas pemulihan.
Perpanjangan izin tambang tanpa koreksi serius hanya akan memperpendek usia lingkungan dan memperbesar penderitaan rakyat. Negara tidak boleh memilih jalan mudah dengan mengorbankan masa depan.
Pembangunan sejati adalah yang menjaga alam tetap hidup dan rakyat tetap aman bukan yang menukar keduanya demi keuntungan jangka pendek.



