beritax.id – Pembahasan revisi RUU Penyiaran kembali menuai kritik tajam dari kalangan jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil. Salah satu poin paling kontroversial adalah pembatasan bahkan potensi pelarangan praktik jurnalisme investigatif dalam tayangan penyiaran. Di tengah berbagai skandal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terungkap lewat kerja investigasi media, wacana ini dinilai sebagai langkah mundur bagi demokrasi.
Draf RUU Penyiaran memuat ketentuan yang dianggap berpotensi mengkriminalisasi atau membungkam liputan investigatif, khususnya yang berkaitan dengan pengungkapan pelanggaran oleh pejabat atau institusi negara. Alasan yang kerap dikemukakan adalah menjaga “etika”, “ketertiban”, dan “stabilitas”.
Namun bagi banyak pihak, istilah-istilah tersebut terlalu lentur dan rawan digunakan untuk membatasi kerja jurnalistik yang kritis.
Konteks Terkini: Investigasi Media Masih Dibutuhkan
Dalam beberapa waktu terakhir, publik justru disadarkan betapa pentingnya jurnalisme investigatif. Berbagai laporan mendalam media telah membuka praktik korupsi, konflik kepentingan, dan penyalahgunaan kewenangan yang tidak terjangkau oleh pengawasan formal negara.
Tanpa liputan investigatif, banyak kasus besar berpotensi tetap tersembunyi, sementara publik kehilangan akses terhadap kebenaran.
Ketika Kritik Dianggap Gangguan
Pembatasan investigasi menunjukkan kecenderungan melihat kritik sebagai ancaman, bukan sebagai mekanisme koreksi. Alih-alih memperbaiki tata kelola dan transparansi, regulasi justru diarahkan untuk mengatur narasi dan membatasi pengungkapan fakta.
Kondisi ini berbahaya karena menggeser fungsi media dari pengawas kekuasaan menjadi sekadar penyampai informasi resmi.
Dampak bagi Kebebasan Pers dan Demokrasi
Jika jurnalisme investigatif dibatasi, maka kebebasan pers akan tereduksi secara signifikan. Media kehilangan daya kritis, masyarakat kehilangan sumber informasi yang independen, dan kekuasaan kehilangan pengawas efektif.
Dalam jangka panjang, demokrasi berubah menjadi prosedural tanpa substansi, karena publik tidak lagi memiliki alat untuk menguji klaim penguasa.
Redupnya Cahaya Jurnalisme bagi Publik
Jurnalisme investigatif bukan sekadar kerja media, tetapi layanan publik. Ia memberi suara pada korban, membuka praktik gelap, dan menjaga agar kekuasaan tidak berjalan tanpa kontrol. Ketika cahaya ini diredupkan, yang tersisa adalah ruang gelap yang rawan disalahgunakan. Publiklah yang paling dirugikan dari pembatasan tersebut.
Solusi: Melindungi Investigasi, Menguatkan Demokrasi
Untuk menjaga kebebasan pers dan kualitas demokrasi, langkah-langkah berikut perlu dilakukan:
- Menghapus pasal-pasal RUU Penyiaran yang membatasi jurnalisme investigatif
Regulasi tidak boleh menjadi alat pembungkaman. - Menjamin kebebasan pers sesuai prinsip konstitusi dan UU Pers
Penyiaran harus tunduk pada prinsip demokrasi, bukan ketakutan. - Melibatkan jurnalis dan masyarakat sipil dalam pembahasan RUU
Aturan tentang media tidak boleh dibuat tanpa media. - Memperkuat mekanisme etik dan koreksi publik, bukan pelarangan
Kesalahan jurnalistik diperbaiki dengan akuntabilitas, bukan sensor. - Menegaskan media sebagai pilar demokrasi, bukan ancaman stabilitas
Transparansi adalah fondasi kepercayaan publik.
Larangan investigasi dalam RUU Penyiaran bukan hanya persoalan media, tetapi persoalan masa depan demokrasi Indonesia. Negara yang percaya diri dengan tata kelolanya tidak akan takut pada liputan investigatif.
Jika cahaya jurnalisme diredupkan, maka yang akan tumbuh bukan ketertiban, melainkan kegelapan yang melindungi penyalahgunaan kekuasaan.



