beritax.id – Beberapa waktu lalu bandang menerjang Sumatra, pemerintah kembali mengulang kalimat klasik: “ini murni bencana alam.” Namun fakta yang ditunjukkan dalam laporan riset bencana Sumatra justru berkebalikan. Air bah yang menghancurkan desa-desa di Tapanuli, Aceh, dan Sumatera Barat bukan semata-mata hujan ekstrem. Bukan pula kejadian tiba-tiba. Ini adalah akumulasi kerusakan lingkungan akibat pilihan kebijakan yang mengabaikan keselamatan rakyat.
Lereng dipotong untuk tambang, bukit dibuka untuk PLTA, hutan digantikan oleh konsesi besar semuanya dilegalkan oleh izin negara. Saat hujan datang, bencana pun tinggal menunggu waktu.
Bukti Lapangan: Hutan Rusak, Sungai Mati
Laporan menunjukkan banjir Sumatra adalah bencana energi tinggi, ditandai dengan gelondongan kayu, batu besar, dan lumpur pekat yang menerjang permukiman.
Fenomena ini tidak mungkin terjadi jika hutan di hulu tetap utuh.
Debit air mendadak melonjak karena:
- hilangnya tutupan pohon,
- berubahnya jalur air akibat pembukaan jalan industri,
- rusaknya daerah resapan,
- serta pengecilan alur sungai oleh sedimentasi material tambang.
Namun pejabat tetap bertahan dengan narasi “hujan luar biasa”, seolah hutan tidak hilang, seolah sungai tidak disempitkan, seolah izin industri tidak pernah diberikan.
Bencana Besar yang Tidak Diakui Negara
Riset mencatat bahwa banjir ini memenuhi seluruh kriteria Bencana Nasional, mulai dari jumlah korban, skala kerusakan, hingga wilayah terdampak lintas provinsi. Tetapi pemerintah pusat menolak menaikkan status tersebut.
Penolakan ini memicu dugaan kuat status nasional akan membuka pintu audit terhadap izin industri yang selama bertahun-tahun merusak ekosistem Sumatra.
Di saat rakyat sibuk menguburkan keluarga, pejabat justru sibuk mengubur tanggung jawab.
Rakyat Berjuang Sendiri Sambil Menunggu Kebijakan yang Tak Kunjung Datang
Lapangan menunjukkan banyak desa terisolasi, logistik lambat masuk, dan komunikasi terputus. Warga di Tapanuli Tengah bahkan terpaksa menjarah makanan karena tidak ada bantuan selama berhari-hari.
Namun pemerintah pusat tetap menyebut semua “terkendali”.
Keterlambatan respons ini semakin memperjelas bahwa bencana Sumatra bukan hanya persoalan alam, tetapi kegagalan kebijakan dalam:
- mitigasi,
- tata ruang,
- pengawasan lingkungan,
- serta koordinasi tanggap darurat.
Prayogi R. Saputra: “Jangan Salahkan Alam Saat Kebijakan yang Merusak”
Menanggapi kekacauan ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, mengingatkan keras:
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Kalau hutan habis karena kebijakan negara, maka bencana bukan salah alam tapi kesalahan keputusan.”
Prayogi menegaskan bahwa negara tidak boleh cuci tangan.
“Negara tidak boleh menyalahkan hujan ketika izin-izin yang merusak lingkungan dikeluarkan oleh negara sendiri.”
Ia juga menekankan bahwa respons cepat tidak boleh bergantung pada citra atau tekanan publik.
Solusi Partai X: Mengganti Kebijakan yang Merusak dengan Kebijakan yang Melindungi
Partai X menawarkan langkah realistis dan struktural untuk menghentikan pola bencana ekologis:
- Audit total seluruh konsesi di hulu DAS
Perusahaan tambang, PLTA, geothermal, dan pemegang izin yang memotong hutan harus diperiksa. Konsesi yang melanggar harus dicabut. - Penetapan otomatis status Bencana Nasional
Jika korban massal dan lintas provinsi, negara wajib hadir tanpa menunggu keputusan politis. - Penataan ulang tata ruang berbasis ekologi
Hulu DAS Bukit Barisan harus menjadi kawasan larangan industri baru. - Sistem tanggap darurat terpadu
Logistik, evakuasi, dan alat berat harus dipusatkan agar tidak lagi terlambat. - Transparansi penuh data lingkungan dan bencana
Tidak boleh ada data kabur yang menutupi deforestasi atau potensi risiko. - Restorasi ekologis jangka panjang
Pemulihan hutan harus berbasis ekosistem, bukan sekadar ritual penanaman pohon untuk foto pejabat.
Bencana Sumatra menunjukkan satu fakta pahit: alam tidak pernah berkhianat kebijakanlah yang membuatnya runtuh. Selama negara terus memposisikan bencana sebagai “kehendak alam”, selama itu pula rakyat akan terus menjadi korban dari keputusan yang salah arah.
Partai X menegaskan bahwa negara harus kembali pada tugas dasarnya melindungi, melayani, dan mengatur rakyat dengan benar.



