beritax.id – Langkah empat bupati di Aceh yang secara terbuka menyatakan ketidaksanggupan menangani bencana banjir dan longsor bukan hanya mengejutkan publik, tetapi juga mengguncang fondasi tata kelola bencana nasional. Dalam surat resmi kepada pemerintah pusat, mereka menyampaikan satu kenyataan pahit: skala bencana terlalu besar, sementara kapasitas daerah sangat terbatas.
Di tengah 940 korban meninggal, ratusan hilang, ribuan terluka, desa-desa terisolasi, jembatan runtuh, dan akses darat terputus total, pernyataan “tidak sanggup” bukan sekadar keluhan administratif. Ia adalah alarm keras bahwa daerah sedang berada di ambang kelelahan total dan pusat harus hadir secara nyata, bukan sekadar simbolis.
Bencana Aceh: Lebih dari Sekadar Darurat Lokal
Banjir dan longsor di Aceh disebut sebagai bencana terbesar setelah tsunami 2004. Namun tidak seperti tsunami dahulu yang memicu mobilisasi nasional berskala luar biasa, bencana kali ini menunjukkan ketimpangan kapasitas yang mencolok. Peralatan darurat kurang, tim SAR kelelahan, anggaran daerah habis, dan jalur logistik lumpuh.
Dalam kondisi seperti ini, wajar jika bupati merasa sedang mendorong batu raksasa seperti Sisyphus berjuang habis-habisan tetapi tidak pernah mencapai puncak.
Apakah ini murni ketidakberdayaan? Atau bentuk komunikasi yang sengaja dibiarkan sampai terdengar ke pusat?Pertanyaan itulah yang kini menghantui publik.
Antara Sindiran Halus dan Jeritan Nyata
Pernyataan mundur secara simbolik dari empat bupati ini bisa dibaca dalam dua lapisan. Pertama, sebagai pengakuan jujur bahwa bencana ini sudah melampaui kapasitas daerah.
Kedua, sebagai bentuk sindiran halus bahkan tamparan bahwa tata kelola bencana nasional tidak berjalan sebagaimana dijanjikan.
Jika daerah yang paling rentan tidak mendapat dukungan kuat sejak awal, wajar jika mereka merasa dibiarkan bekerja dalam absurditas ala Camus: berjuang dalam sistem yang tidak mendukung.
Otonomi Daerah yang Mandek dalam Situasi Darurat
Bencana Aceh hari ini memperlihatkan ironi besar: daerah diberi otonomi, tetapi tidak diberi kapasitas memadai. Teori ketergantungan menjelaskan fenomena ini: daerah tetap berada dalam posisi periferi yang sangat bergantung pada pusat.
Saat situasi normal, daerah diminta mandiri. Saat bencana melanda, daerah diminta menunggu. Hasilnya adalah ketergantungan struktural yang membuat daerah tampak “gagal” padahal mereka hanya kekurangan alat, anggaran, dan koordinasi skala nasional.
Pernyataan empat bupati itu bukan sekadar keluhan melainkan laporan situasi yang tidak sanggup lagi mereka tangani sendirian.
Pernyataan dari pemerintah pusat bahwa para bupati “bukan menyerah total” justru memunculkan pertanyaan baru: Jika bukan menyerah, mengapa mereka sampai harus mengirim surat seperti itu?
Respon yang defensif tidak menjawab akar persoalan: ketimpangan kapasitas antara pusat dan daerah dalam menghadapi bencana berskala besar. Aceh tidak butuh pembelaan. Aceh butuh bantuan.
Solusi: Tata Kelola Bencana Harus Dibangun Ulang dari Fondasinya
Jika peristiwa ini tidak ingin terulang di daerah lain, negara perlu melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem penanggulangan bencana. Pertama, pemerintah pusat harus memperkuat kapasitas daerah dengan anggaran khusus bencana yang fleksibel dan mudah diakses. Kedua, distribusi peralatan darurat, alat berat, dan logistik harus terdesentralisasi sehingga daerah tidak selalu menunggu bantuan pusat. Ketiga, standar nasional respons bencana harus dibuat lebih tegas dan lebih cepat, terutama untuk bencana yang melumpuhkan infrastruktur. Keempat, sistem koordinasi lintas daerah bukan hanya pusat–daerah harus diaktifkan agar wilayah sekitar dapat membantu sebelum pusat tiba. Kelima, pelatihan mitigasi bagi daerah rawan harus diwajibkan secara berkala dan didukung penuh oleh pemerintah.
Solusi bencana tidak boleh bergantung pada heroisme individu; ia harus bergantung pada kekuatan sistem.
Kesimpulan: Surat ke Pusat Bukan Tanda Lemah, Tapi Tanda Ada yang Salah
Bupati Aceh bukan sedang bermalas-malasan atau menghindar dari tanggung jawab. Mereka sedang menunjukkan bahwa beban bencana telah melampaui kapasitas manusiawi. Jika pusat membaca ini sebagai “keluhan”, maka negara sedang gagal memahami pesan penting dari garis depan.
Ketika empat bupati harus menyerah, itu bukan tanda daerah melemah. Itu tanda sistem nasional sedang tidak bekerja sebagaimana mestinya.



