Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Ketika Presiden Prabowo Subianto berjanji akan “menyikat maling negara” di hadapan pengungsi bencana di Sumatera Barat, seruan “Hidup Prabowo!” menggema sebagai tanda besarnya harapan publik. Namun harapan tersebut akan sulit terwujud jika arsitektur ketatanegaraan dan konstitusi tetap seperti sekarang.
Janji vs Realitas Sistemik
Pernyataan seperti “kita sikat maling-maling yang mencuri uang rakyat” memang membangkitkan semangat pemberantasan korupsi. Tetapi masalah korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu-individu yang korup, melainkan juga sistem dan struktur negara: pengelolaan keuangan, distribusi kekuasaan, dan mekanisme pengawasan yang masih rapuh.
Tanpa perubahan mendasar, upaya “bersih-bersih” akan selalu berbenturan dengan berbagai kelemahan konstitusional. Hal ini seperti dominasi eksekutif, pengawasan lembaga negara yang lemah, dan mekanisme akuntabilitas yang minim. Sistem yang ada justru membuka ruang bagi praktik korupsi.
Mengapa Amandemen Konstitusi Menjadi Kunci
Desain konstitusi saat ini memberi peluang dominasi kekuasaan eksekutif. Dalam konteks oligarki dan birokrasi yang tidak bersih, kekuasaan tersebut dapat menjadi jalur “legal” untuk mengeksploitasi kekayaan negara.
Amandemen konstitusi, khususnya Amandemen Kelima sebagaimana digagas beberapa kelompok intelektual, menjadi penting agar kekuasaan terdesentralisasi dan diawasi secara ketat, lembaga pengawas benar-benar independen, transparansi dan akuntabilitas bersifat sistemik, serta rakyat memiliki posisi strategis dalam kedaulatan negara.
Tanpa perubahan ini, janji “sikat maling negara” berisiko menjadi retorika semata.
Suara Kritis ala Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
Kritik moral yang sering disampaikan Cak Nun tetap relevan: pemerintah adalah pelayan rakyat, bukan penguasa. Rakyat adalah pihak yang memberi mandat, sehingga pemegang kekuasaan harus dapat dipanggil dan dimintai pertanggungjawaban.
Dalam kerangka pemikiran itu, janji “menyikat maling negara” hanya bermakna bila sistem negara dirancang untuk benar-benar menempatkan kedaulatan di tangan rakyat serta menjamin kontrol publik atas kekuasaan.
Tanpa perubahan struktural, janji sekeras apa pun akan sulit menghasilkan keadilan dan pemulihan negara.
Kesimpulan
Pernyataan Presiden Prabowo untuk “menyikat maling negara” merupakan sinyal positif bahwa isu korupsi mendapat perhatian. Namun tanpa reformasi konstitusi dan perbaikan arsitektur negara, upaya pemberantasan korupsi hanya akan mengulang pola lama.
Jika benar ada tekad untuk memulihkan keadilan dan kedaulatan rakyat, langkah pertama adalah memperbaiki konstitusi. Hanya dengan fondasi kenegaraan yang kuat, janji besar seperti “sikat maling negara” dapat diwujudkan sebagai kebijakan nyata, bukan sekadar retorika kekuasaan.



