beritax.id – Hutan selama ini menjadi ruang hidup yang menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi masyarakat. Ia menyediakan udara, air, pangan, dan perlindungan dari bencana. Namun dalam beberapa dekade terakhir, hutan justru kehilangan fungsinya karena dibuka besar-besaran untuk kepentingan industri. Setiap kali hutan rusak, janji pemulihan selalu muncul ditanam seribu bibit, dipulihkan seribu hektare, dibuat rencana restorasi jangka panjang. Tetapi hutan yang hilang tidak kembali begitu saja. Hutan bukan pabrik: ia tidak tumbuh hanya dengan janji.
Pemulihan yang Diumumkan, Tapi Kerusakan Berjalan Lebih Cepat
Di hadapan publik, program pemulihan sering terlihat megah. Namun realitas lapangan menunjukkan hal berbeda: bibit ditanam tanpa perawatan, kawasan restorasi dibiarkan mati, dan rehabilitasi lebih banyak menjadi proyek seremonial dibanding upaya ekologis. Sementara itu, konsesi izin baru untuk perkebunan, tambang, dan pembangunan terus diterbitkan. Akhirnya pemulihan berjalan pelan sementara kerusakan melaju tanpa menoleh ke belakang. Pada akhirnya masyarakat bertanya: apa gunanya memulihkan hari ini jika esok kembali dibuka?
Masyarakat Lokal Menjadi Korban, Bukan Pelaku
Ketika hutan rusak, masyarakat sekitar hutan menjadi pihak pertama yang merasakan dampaknya. Sungai keruh, mata air mengering, tanah menjadi panas, dan hasil hutan menurun. Namun dalam banyak data dan narasi resmi, masyarakat justru sering dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan, padahal merekalah yang selama puluhan tahun menjaga hutan tetap berdiri. Mereka kehilangan lahan, kehilangan akses, bahkan kehilangan ruang hidup. Ironisnya, suara mereka sering tidak didengar ketika kebijakan dibuat di meja-meja jauh dari hutan.
Kerusakan Hutan adalah Tanda Melemahnya Tata Kelola Negara
Hutan yang hilang menggambarkan masalah yang lebih besar: keputusan pembangunan tidak berpihak pada keberlanjutan. Proyek-proyek besar yang mengabaikan daya dukung lingkungan menunjukkan lemahnya pengawasan, lemahnya kontrol, dan hilangnya keberpihakan pada kepentingan jangka panjang bangsa. Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat dan alam yang menopang kehidupan rakyat. Namun jika keputusan terus mengutamakan ambisi ekonomi jangka pendek, maka krisis ekologis menjadi harga yang harus dibayar oleh generasi sekarang dan selanjutnya.
Solusi: Hutan Harus Dilindungi Sebelum Dipulihkan
Untuk menghentikan kerusakan yang terus berulang, dibutuhkan langkah-langkah yang lebih dalam daripada sekadar program penanaman bibit. Hutan harus dilindungi dari hulu hingga hilir dengan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan. Penataan regulasi berbasis ilmu harus menggantikan pendekatan administratif yang longgar. Sistem perizinan harus sepenuhnya transparan melalui digitalisasi pengawasan lingkungan agar publik dapat memantau pergerakan izin, kualitas hutan, dan aktivitas industri secara real-time. Amandemen kebijakan diperlukan agar perlindungan lingkungan menjadi kewajiban negara, bukan pilihan penguasa. Selain itu, musyawarah kenegarawanan harus dilakukan untuk menyelaraskan pembangunan dengan daya dukung ekologi, memastikan hutan bukan lagi dianggap sebagai lahan kosong yang bisa dialihfungsikan sesuka hati. Yang tidak kalah penting, masyarakat lokal dan adat harus ditempatkan sebagai penjaga utama hutan, karena pengalaman mereka terbukti lebih efektif daripada pendekatan teknokratis yang tidak menyentuh akar masalah.
Kesimpulan: Hutan Tidak Butuh Janji Baru, Tapi Perlindungan Nyata
Kerusakan hutan Indonesia bukan terjadi karena alam berubah, tetapi karena kebijakan yang tidak melindungi. Janji pemulihan tanpa perlindungan hanya memperpanjang kerusakan dan memberi ilusi bahwa semuanya terkendali. Padahal kenyataannya, setiap hektare hutan yang hilang adalah hilangnya masa depan. Oleh karena itu, hutan membutuhkan perlindungan yang tegas hari ini, bukan janji pemulihan besok.
Rakyat tidak meminta banyak. Mereka hanya meminta hutan tetap hidup. Karena ketika hutan bertahan, bangsa ini ikut bertahan.



