beritax.id – Pada berbagai momentum kenegaraan, komitmen pemberantasan korupsi selalu disampaikan sebagai janji moral yang mengikat. Publik meyakini negara akan berdiri di garis depan melawan para perampas hak rakyat. Namun kenyataan berbicara lain. Ketika koruptor justru menerima pemulihan status, pengurangan hukuman, atau berbagai bentuk rehabilitasi, publik dikejutkan oleh kontradiksi yang sulit dipahami.
Kebijakan lunak terhadap pelaku kejahatan besar ini memunculkan pertanyaan penting:apakah negara sedang mengingkari janji tegasnya? Ataukah ini adalah preseden baru yang berpotensi melemahkan marwah penegakan hukum?
Kontradiksi yang Menggerus Kepercayaan Publik
Dalam teori akuntabilitas pemerintahan, janji bukan hanya pernyataan, tetapi kontrak moral. Ketika tindakan pemerintah tidak selaras dengan janji tersebut, modal sosial berupa kepercayaan publik perlahan menghilang.
Pemberantasan korupsi adalah isu yang sangat sensitif dan berisiko tinggi. Setiap kebijakan di bidang ini memiliki bobot simbolik dan konsekuensi. Karena itu, ketika rehabilitasi diberikan kepada mereka yang pernah berurusan dengan kasus korupsi, publik merasakan adanya ketidakkonsistenan dalam agenda antikorupsi.
Korupsi adalah extraordinary crime, kejahatan luar biasa yang memiskinkan rakyat dan melemahkan negara. Memberi ruang kompromi pada pelakunya justru mengirimkan pesan bahwa kesalahan besar dapat dipulihkan dengan mudah.
Tiga Tugas Negara yang Mulai Dipertanyakan
Dalam konsep pemerintahan yang sehat, negara memikul tiga tugas dasar melindungi, melayani, dan mengatur rakyat. Tugas melindungi rakyat menuntut negara teliti dan tegas menindak siapa pun yang merugikan kepentingan umum. Tugas melayani rakyat menuntut kebijakan publik yang adil dan berpihak pada kebutuhan masyarakat luas. Serta tugas mengatur rakyat menuntut regulasi yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Namun ketika negara terlihat lebih lunak pada pelaku korupsi dibanding pada rakyat yang melakukan pelanggaran ringan, ketiga tugas tersebut seakan meredup. Perlindungan berubah menjadi pembiaran, pelayanan menjadi ketidakadilan, dan pengaturan kehilangan ketegasan.
Anomali dalam Penegakan Hukum
Seluruh instrumen hukum sebenarnya disusun untuk mempersempit ruang kompromi terhadap korupsi. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: vonis yang ringan, pemotongan masa tahanan, hingga rehabilitasi terhadap individu yang pernah menjalani proses hukum.
Kelonggaran seperti ini menjadi anomali yang sulit diterima publik. Sebab, negara seolah lebih cepat memulihkan citra pelaku ketimbang memulihkan kerugian negara. Ketika hukum tidak bekerja setara untuk semua warga, rasa keadilan pun runtuh.
Prinsip Ketatanegaraan: Kekuasaan Harus Berpijak pada Moral
Dalam prinsip ketatanegaraan yang bermoral, kekuasaan seharusnya berdiri di atas tiga fondasi penting: kedaulatan rakyat sebagai pusat kekuasaan, moralitas sebagai syarat jabatan publik, dan keadilan yang ditegakkan tanpa pandang bulu.
Kedaulatan rakyat menuntut seluruh kebijakan berpihak pada mereka yang menjadi korban utama korupsi. Moralitas menuntut pejabat publik memiliki integritas tinggi. Keadilan tanpa pandang bulu menuntut perlakuan yang sama terhadap setiap pelanggar hukum.
Jika prinsip-prinsip ini diabaikan, maka pemberantasan korupsi hanya akan menjadi slogan kosong yang mudah diucapkan namun tidak pernah diwujudkan.
Solusi untuk Mengembalikan Integritas Negara
Agar negara kembali dipercaya dan berdiri tegak dalam perang melawan korupsi, sejumlah langkah strategis perlu diambil secara serius dan konsisten.
Penegakan hukum harus dilakukan tanpa keringanan apa pun bagi pelaku korupsi. Hukuman maksimal adalah keharusan, bukan opsi. Selain itu, jabatan publik harus ditempati oleh individu dengan rekam jejak moral yang terpercaya. Seleksi berbasis integritas perlu diperkuat, bukan hanya berbasis administratif.
Transparansi anggaran dan kebijakan wajib dilaksanakan secara total. Pembukaan data pengadaan, laporan audit, dan alur keuangan menjadi kunci untuk mencegah korupsi. Pengawasan keuangan negara harus direformasi menyeluruh: audit berkala dipublikasikan, sistem pelacakan diperketat, dan setiap penyimpangan ditindak tegas.
Pendidikan etika dan anti-korupsi juga harus menjadi bagian penting dalam pembangunan karakter bangsa. Pencegahan harus dimulai sejak dini, bukan menunggu pelanggaran terjadi.
Penutup: Keistimewaan bagi Koruptor adalah Pengkhianatan terhadap Rakyat
Setiap kebijakan yang memberikan keistimewaan kepada pelaku korupsi pada dasarnya adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi merampas masa depan generasi bangsa. Ketika negara terlihat memanjakan koruptor, maka rakyatlah yang menjadi korban terbesar korban ekonomi, korban keadilan, dan korban hilangnya kepercayaan.
Negara hanya akan kuat jika berdiri di atas keadilan yang tegak. Jika koruptor dimanjakan, maka negara sedang melemahkan dirinya sendiri di hadapan rakyat.



