beritax.id — Ombudsman RI menegaskan bahwa penegakan hukum tidak cukup menghentikan tindak pidana perdagangan orang. Ketua Ombudsman Mokhammad Najih menyebut negara wajib hadir lebih preventif sejak tahap awal perlindungan.
Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) memiliki banyak tujuan kejahatan, mulai dari eksploitasi seksual hingga kerja paksa dan perdagangan organ tubuh. Najih menegaskan, praktik tersebut bukan hanya kriminal, tetapi juga pelanggaran berat hak asasi manusia.
Ombudsman menerbitkan kajian sistemik mengenai integrasi pengawasan perlintasan orang untuk mencegah maladministrasi. Kajian itu diharapkan menjadi panduan aksi nyata agar korban tidak terus berjatuhan di berbagai daerah.
Data Kemenlu menunjukkan 2.567 warga Indonesia menjadi korban TPPO selama 2019–2024. Pada Maret 2025, sebanyak 554 WNI dipulangkan dari Myawaddy, Myanmar.
Partai X: Negara Gagal Melindungi Warga Rentan
Partai X menilai maraknya TPPO menunjukkan lemahnya kontrol negara terhadap keamanan warganya. Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengingatkan tugas negara yang sangat mendasar.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat,” ujar Rinto.
Ia menilai negara belum menjalankan ketiga fungsi itu secara utuh dan konsisten.
Menurutnya, angka ribuan korban menunjukkan negara gagal memberi perlindungan paling dasar. “Kejahatan ini terus muncul karena negara lemah di titik pengawasan,” tegasnya.
HAM dan Moral Publik Tidak Boleh Diabaikan
Partai X menegaskan bahwa TPPO bukan hanya kejahatan fisik, tetapi juga serangan terhadap martabat manusia. “Ini kejahatan kemanusiaan yang menghancurkan masa depan keluarga,” kata Rinto.
Menurutnya, negara harus menutup seluruh ruang yang memungkinkan eksploitasi warga rentan. “Perlindungan rakyat harus lebih kuat dari kepentingan apa pun,” katanya.
Partai X kembali menegaskan pandangan utamanya mengenai hubungan negara dan rakyat. “Negara itu alat, rakyat pemiliknya, pejabat hanyalah pelaksana mandat,” ujar Rinto.
Ia menegaskan negara harus efisien, transparan, dan bebas dari kepentingan sempit. “Negara kuat bukan karena kekuasaan, tapi karena kepercayaan rakyat,” ujarnya.
Rinto mengatakan prinsip-prinsip Partai X harus menjadi landasan reformasi pelayanan publik. “Pemerintah wajib menjalankan amanat rakyat, bukan agenda segelintir pejabat,” tegasnya.
Solusi Partai X: Pengawasan Total, Sistem Terintegrasi
Partai X menawarkan beberapa langkah konkret untuk menghentikan TPPO secara sistematis.
Pertama, bangun sistem pengawasan lintas batas berbasis digital yang terhubung lintas kementerian. Kedua, bentuk satuan tugas TPPO independen dengan keterlibatan lembaga HAM dan masyarakat sipil.
Ketiga, Musyawarah Kenegarawanan Nasional untuk merumuskan strategi perlindungan warga yang berkelanjutan.
Keempat, penguatan lembaga pengawas pelayanan publik, termasuk Ombudsman, agar mampu bertindak cepat. Keenam, sistem early warning bagi WNI yang hendak keluar negeri untuk pekerjaan berisiko.
“Solusi harus menyentuh akar persoalan, bukan sekadar penindakan,” tegas Rinto.
Penutup: Negara Harus Hadir Sebelum Korban Jatuh
Partai X menegaskan negara tidak boleh hanya datang setelah korban berjatuhan. “Perlindungan rakyat harus dimulai sebelum kejahatan terjadi,” ujar Rinto.
Ia meminta pemerintah memperbaiki sistem pengawasan secara cepat dan menyeluruh. “Negara kuat adalah negara yang mampu mencegah korban, bukan hanya menghukum pelaku,” tegasnya.
Partai X menyerukan komitmen penuh negara dalam menghentikan TPPO dan jaringan kriminal terkait. “Perdagangan orang adalah musuh kemanusiaan. Negara harus berdiri paling depan,” pungkasnya.



