Suara Publik yang Membangunkan Kesadaran Hukum
Di balik angka dan grafik penerimaan negara, ada suara publik yang mulai terdengar lebih lantang.
Melalui kanal “Lapor Pak Purbaya”, puluhan ribu masyarakat kini memiliki ruang untuk menyampaikan keluhan mereka—mulai dari urusan administratif hingga dugaan penyimpangan dalam sistem perpajakan dan kepabeanan.
Hingga Oktober 2025, tercatat lebih dari 28 ribu laporan telah diterima. Ribuan di antaranya bahkan sudah diverifikasi dan ditindaklanjuti oleh otoritas terkait.
Menariknya, sebagian besar laporan datang dari sektor pajak dan kepabeanan—dua bidang yang sejatinya merupakan urat nadi penerimaan negara.
Namun, di balik angka tersebut tersirat pesan penting: masyarakat masih merindukan keadilan yang berpihak pada transparansi dan akuntabilitas.
Di satu sisi, publik diminta taat membayar pajak; di sisi lain, mereka ingin merasa dilindungi oleh sistem yang adil saat menghadapi ketidakjelasan atau dugaan pelanggaran oleh aparat negara.
Lapor Sebagai Wujud Rule of Law yang Hidup
Dalam perspektif hukum, hak masyarakat untuk melapor dan memperoleh klarifikasi bukan sekadar formalitas administratif.
Sebaliknya, ia merupakan perwujudan prinsip keadilan dan keterbukaan, bahwa setiap warga berhak mendapatkan perlakuan yang jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, kanal pengaduan seperti “Lapor Pak Purbaya” menjadi cermin berjalannya semangat rule of law di Indonesia.
Hukum tidak lagi berdiri sebagai alat pemungutan atau instrumen kekuasaan semata, tetapi berubah menjadi penjaga keseimbangan antara kewajiban dan hak warga negara.
Selain itu, partisipasi publik dalam pengawasan memperkuat legitimasi hukum itu sendiri.
Ketika masyarakat diberi ruang untuk menilai dan melaporkan, hukum tidak hanya ditegakkan dari atas ke bawah, tetapi juga dihidupkan dari bawah ke atas—dari kesadaran dan keberanian warga.
Dari Kekuasaan ke Akuntabilitas: Purbaya dan Konsep Mochtar Kusumaatmadja
Langkah Menteri Purbaya dalam membuka kanal “Lapor Pak Purbaya” dapat dibaca sebagai manifestasi konkret dari gagasan Mochtar Kusumaatmadja tentang hubungan hukum dan kekuasaan.
Menurut Mochtar, hukum dan kekuasaan tidak boleh saling meniadakan. Sebaliknya, keduanya harus saling menopang.
Dalam konteks ini, kanal pengaduan publik bukan sekadar alat administratif, melainkan mekanisme legalisasi kekuasaan yang diarahkan untuk menegakkan hukum.
Purbaya, sebagai pejabat publik, memilih untuk menggunakan kewenangannya dalam koridor akuntabilitas dan hukum, bukan untuk memperluas otoritas pribadi, tetapi untuk menjamin kekuasaan bekerja demi keadilan.
Melalui kanal “Lapor Pak Purbaya”, kekuasaan yang melekat pada jabatan Menteri Keuangan tidak lagi bersifat koersif, melainkan transformatif dan partisipatif.
Masyarakat diajak berperan aktif dalam pengawasan dan penegakan hukum—sebuah wujud nyata dari pemerintahan yang responsif dan terbuka.
Menghidupkan Hukum, Menjinakkan Kekuasaan
Dalam kerangka berpikir Mochtar, tindakan ini menegaskan bahwa:
“Kekuasaan tanpa hukum melahirkan kesewenang-wenangan, namun hukum tanpa dukungan kekuasaan hanya akan menjadi angan-angan.”
Kanal “Lapor Pak Purbaya” adalah contoh konkret bagaimana hukum dapat dihidupkan melalui kekuasaan yang terkendali dan terukur.
Kekuasaan yang tadinya berpotensi menindas, kini digunakan sebagai sarana memberdayakan hukum dan melindungi rakyat.
Melalui mekanisme ini, publik bukan hanya menjadi objek dari kebijakan, tetapi subjek yang berperan dalam menegakkan hukum.
Dengan begitu, hukum tidak lagi sekadar teks dalam undang-undang, melainkan roh yang hidup di tengah masyarakat—mengatur, mengoreksi, dan menuntun kekuasaan agar tetap berpihak pada keadilan.



