Pengadilan Pajak Kembali Disorot karena Penolakan Gugatan Kepabeanan
Pengadilan Pajak kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah gugatan sengketa kepabeanan ditolak mentah-mentah oleh Majelis Hakim. Dalam praktiknya, banyak importir dan eksportir menggugat Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP). Namun, tuntutan mereka sering kandas dengan alasan bahwa Pasal 95 Undang-Undang Kepabeanan hanya mengenal mekanisme “banding”.
Tumpang Tindih Pengaturan Antara UU Kepabeanan dan UU Pengadilan Pajak
Padahal, Undang-Undang Pengadilan Pajak (UU No. 14/2002) secara tegas memasukkan “bea masuk dan cukai” sebagai bagian dari sengketa pajak. Dengan demikian, perkara tersebut seharusnya dapat diajukan baik melalui banding maupun gugatan.
Sebagai contoh, dua putusan terbaru — PUT-008415.98/2022 dan PUT-008176.98/2022 — menunjukkan bahwa hakim menolak gugatan hanya karena UU Kepabeanan tidak mencantumkan istilah “gugatan”. Akibatnya, pelaku usaha terpaksa menempuh jalur keberatan dan banding. Sayangnya, kedua mekanisme itu tidak selalu memadai untuk menguji tindakan faktual atau keputusan non-penetapan yang merugikan pihak importir maupun eksportir.
Dampak Penolakan terhadap Akses Keadilan
Lebih jauh, kondisi tersebut membuat pelaku usaha kehilangan saluran hukum yang efektif. Bahkan, sebagian dari mereka beralih ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, lembaga ini tidak memiliki keahlian khusus di bidang fiskal, sehingga penyelesaian perkara menjadi kurang tepat sasaran.
Selain itu, ketidakjelasan mekanisme hukum ini menambah beban bagi dunia usaha. Proses penyelesaian sengketa menjadi lebih panjang dan berisiko menurunkan kepastian hukum di sektor perdagangan internasional.
Perdebatan Asas Lex Specialis dan Peran SEMA No. 1/2022
Menurut sejumlah ahli, penolakan tersebut muncul karena penerapan asas lex specialis derogat legi generali yang berlebihan. Dengan dalih itu, norma khusus dalam UU Kepabeanan dianggap mengesampingkan ketentuan umum dalam UU Pengadilan Pajak.
Namun demikian, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1/2022 justru menegaskan bahwa Pengadilan Pajak memiliki kewenangan absolut untuk menangani semua sengketa fiskal. Hal ini mencakup pula tindakan faktual serta keputusan bea dan cukai di luar mekanisme banding. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak gugatan yang diajukan wajib pajak atau pelaku usaha.
Implikasi terhadap Iklim Investasi dan Kepastian Hukum
“Ketiadaan ruang gugatan menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan iklim investasi,” ujar seorang konsultan kepabeanan. Selain itu, sejumlah pengamat menekankan pentingnya penerapan asas Generalia Sunt Praeponenda Singularibus. Prinsip ini berarti bahwa ketentuan umum harus digunakan untuk mengisi kekosongan dalam aturan khusus ketika terjadi kekaburan norma.
Akibat ketidakpastian tersebut, banyak pelaku usaha ragu mengambil langkah hukum atau ekspansi bisnis. Pada akhirnya, hal ini dapat memengaruhi kepercayaan investor terhadap sistem hukum dan perpajakan Indonesia.
Mendesak: Harmonisasi Regulasi antara UU Kepabeanan dan UU Pengadilan Pajak
Untuk menjawab persoalan ini, DPR dan pemerintah didesak segera melakukan harmonisasi regulasi. Revisi terhadap UU Kepabeanan atau UU Pengadilan Pajak harus secara eksplisit mengatur mekanisme gugatan dalam sengketa kepabeanan.
Langkah ini penting untuk memastikan bahwa:
- hak konstitusional pelaku usaha atas akses keadilan tetap terjamin,
- kepastian hukum dapat ditegakkan secara konsisten, dan
- kepercayaan investor terhadap sistem perpajakan nasional semakin kuat.
Dengan demikian, pembaruan regulasi di bidang kepabeanan tidak hanya akan memperbaiki prosedur hukum, tetapi juga memperkuat fondasi keadilan fiskal dan stabilitas ekonomi nasional.



