Menelusuri Dasar Hukum Dua Mekanisme Penetapan
Untuk memahami ruang lingkup kewenangan Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam memutus keberatan, perlu ditelusuri dua dasar hukum utama dalam sistem penetapan kepabeanan. Keduanya tercantum dalam Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006.
Pasal 16 UU Kepabeanan: Dasar Penerbitan SPTNP
Pasal 16 UU Kepabeanan menjadi dasar penerbitan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) oleh Pejabat Bea dan Cukai.
Penetapan ini dilakukan paling lambat 30 hari sejak penyampaian Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Tujuannya untuk meneliti kebenaran tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan oleh importir.
Hasil penelitian dapat berupa koreksi terhadap tarif, nilai pabean, atau jumlah Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang harus dibayar.
Pasal 17 UU Kepabeanan : Kewenangan Penetapan Kembali oleh DJBC
Sementara itu, Pasal 17 memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai untuk menetapkan kembali tarif atau nilai pabean dalam jangka waktu dua tahun sejak tanggal PIB.
Penetapan ulang ini dituangkan dalam Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP).
Mekanisme SPKTNP berbeda dengan SPTNP. Jika SPTNP dilakukan pada tahap awal pemeriksaan, SPKTNP digunakan ketika DJBC melakukan penilaian ulang terhadap PIB setelah penetapan awal selesai.
Perbedaan SPTNP dan SPKTNP
Dengan demikian, SPTNP dan SPKTNP memiliki fungsi serta jangka waktu berbeda.
SPTNP bersifat pemeriksaan awal, sedangkan SPKTNP merupakan koreksi lanjutan atas penetapan sebelumnya.
Ruang Lingkup Keputusan Keberatan Tidak Boleh Melebihi Objek Sengketa
Dalam praktik, sering muncul pandangan bahwa DJBC memiliki kewenangan penuh untuk menilai ulang seluruh aspek dalam satu SPTNP melalui satu permohonan keberatan.
Namun, pandangan ini tidak tepat secara hukum.
Apabila DJBC menilai ulang seluruh isi SPTNP, maka yang diperiksa bukan lagi penetapan pejabat atas SPTNP, tetapi PIB itu sendiri.
Padahal, penilaian ulang terhadap PIB hanya boleh dilakukan melalui SPKTNP, bukan dalam proses keberatan. Hal ini diatur tegas dalam Pasal 17 UU Kepabeanan.
Mengapa Pembatasan Kewenangan Ini Penting
Pembatasan ini penting untuk menjaga pemisahan fungsi antara Pasal 16 dan Pasal 17 UU Kepabeanan.
Jika keberatan dapat mencakup seluruh aspek penilaian PIB, maka mekanisme penetapan dalam kedua pasal tersebut kehilangan maknanya.
Dengan kata lain, keputusan keberatan bisa berubah fungsi menjadi “penetapan ulang terselubung” tanpa batas waktu dan tanpa prosedur penelitian baru.
Selain itu, keberatan seharusnya menjadi mekanisme koreksi administratif terbatas, bukan sarana untuk menilai ulang seluruh transaksi impor.
Prinsip ini sejalan dengan asas legalitas dan asas kepastian hukum, di mana pejabat hanya dapat bertindak dalam batas kewenangan undang-undang.
Implikasi Hukum Jika DJBC Menilai Ulang di Luar Objek Keberatan
Apabila DJBC dalam keputusan keberatan menetapkan hal di luar objek sengketa — misalnya, menetapkan tarif baru padahal keberatan hanya menyangkut nilai pabean — maka tindakan tersebut melampaui kewenangan (ultra petita).
Kondisi ini menyebabkan keputusan keberatan cacat substansi, karena substansinya tidak sesuai dengan objek permohonan.
Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) huruf c jo. Pasal 66 ayat (1) huruf c UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan semacam ini dapat dibatalkan secara hukum.
Kesimpulan
Dua mekanisme penetapan dalam UU Kepabeanan, yakni SPTNP (Pasal 16) dan SPKTNP (Pasal 17), memiliki fungsi yang berbeda dan tidak boleh dicampur dalam proses keberatan.
Keberatan hanya berfungsi mengoreksi penetapan tertentu, bukan menilai ulang seluruh PIB.
Dengan demikian, batas kewenangan DJBC harus dijaga agar proses keberatan tetap sesuai asas hukum yang adil, transparan, dan pasti.



